Sunday, December 30, 2012

Wijilan, Sentra Gudeg Jogja


Plang Jalan Wijilan di depan plengkung

Kota Yogyakarta terkenal dengan julukan sebagai Kota Gudeg. Rasanya ada yang kurang jika ketika kita mengunjungi kota Yogyakarta tetapi tidak mencicipi Gudeg tersebut. Di kota Yogyakarta ini, wisatawan dapat dengan mudah menemukan menu Gudeg di restoran ataupun rumah makan yang ada di kota ini. Namun ada satu jalan di kota Yogyakarta yang dijadikan pusat kuliner gudeg yaitu di jalan wijilan Yogyakarta.

Gudeg merupakan makanan tradisional Jogja yang terbuat dari nangka muda dengan tambahan bumbu tradisional & rempah-rempah yang diolah secara tradisional sehingga menjadikan citra rasa yg gurih & manis ditambah dgn sambel Krecek yg dibuat dari tempe & krupuk kulit dipadukan dengan bumbu Areh dari santan kelapa.

Selepas istirahat dan sholat magrib pada hari minggu 2 Desember 2012, saya bersama istri dan anak saya keluar dr hotel untuk mencari makan malam walaupun pada saat itu hujan rintik-rintik membasahi kota yogyakarta. Pada awalnya saya ingin makan malam di alun-alun kidul. Sebelumnya saya mendapatkan informasi, jika di alun-alun kidul merupakan pusat kuliner di malam hari. Untuk menuju kesana saya naik Trans Jogja dengan tariff Rp.3000 dan turun di halte malioboro 3 di dekat benteng vredeburg. 

Setelah turun dari halte malioboro 3 maka kami pun bergerak ke arah selatan, intensitas hujan semakin meningkat. Dengan menggunakan payung kecil untuk melindungi kami dari hujan, kami terus berjalan sampai di monument serangan umum sebelas maret kami berhenti sejenak untuk mengambil gambar. Lalu meneruskan perjalanan ke arah timur menelusuri jalan pangeran senopati, sempat bertanya sejenak ke penjaja warung namun menurutnya alun-alun selatan masih jauh dan dia menunjukkan jalan agar tetap ke arah timur lalu ke arah selatan menelusuri jalan Brigjen Katamso. Kami pun mengikuti sarannya dan berbelok di jalan ibu ruswo. 

Setelah menulusuri jalan ibu ruswo, saya terhenti di sebuah jalan dan rinai-rinai hujan masih membasahi kota Yogyakarta. Jalan yang dari namanya saya sudah pernah mendengar dari teman perjalanan saya di pesawat ketika menuju ke Yogyakarta. Menurutnya jika ingin mencicipi gudeg sebaiknya kunjungi jalan wijilan karena disanalah pusat kuliner gudeg jogja. 

Karena saya cukup lelah berjalan dan membawa anak saya dengan berat 9 kg yang berumur 1,5 tahun maka saya tidak berfikir panjang lagi saya berjalan menuju jalan wijilan. Setelah melewati plengkung wijilan, sebuah gerbang berbentuk terowongan pendek, tidak jauh dari situ beberapa rumah makan gudeg berjejer. Saya pun berjalan melewati beberapa rumah makan dan mencari rumah makan gudeg yang sedikit ramai. Saya pun berhenti di rumah makan gudeg wijilan bu widodo dan keramahan pemilik serta pegawai disana langsung mempersilahkan kami masuk dan menentukan meja. Saya pun memilih duduk lesehan.

Gudeg Wijilan Bu Widodo berada di jalan wijilan no.5, berada di sebelah timur kraton Yogyakarta. Untuk mencapai lokasi ini dari sosrowijayan bisa dengan naik trans jogja sampai dengan halte malioboro 3 dan dari situ bisa dilanjutkan dengan naik becak, tarifnya sekitar 10 ribu.

Beragam menu gudeg ada disana, yang membedakan adalah lauknya saja dan perbedaan lauk tersebut menentukan besaran harganya dari sekitar Rp.8000 sampai dengan Rp.25,000. Lauknya dimulai dari tempe dan tahu bacam, telur, daging ayam, daging bebek dan daging sapi. Saya sendiri memesan gudeg telur plus sambal krecek seharga Rp.9000, sedangkan istri saya memesan gudeg paha ayam plus sambal krecek seharga Rp.15,000. 

Gudeg Wijilan Bu Widodo pun menyediakan minuman hangat tradisional jogja bernama wedang rempah seharga Rp.5,000. Minuman hangat berwarna kemerahan dengan beragam rempah seperti gula batu, jahe, kayu secang, dan daun kayu putih. Minuman tersebut menghangatkan tubuh setelah tubuh di selimuti dingin oleh rintik hujan.

Setelah puas mencicipi gudeg jogja yang gurih dan nikmat serta meminum wedang rempah yang mampu menghangatkan tubuh maka kami pun kembali ke penginapan dengan menggunakan becak seharga Rp.20.000 menuju sosrowijayan.
Gudeg Wijilan Bu Widodo

Guged Bu Widodo
Wedang Rempah

Candi Megah Prambanan dan Legenda Roro Jongrang





Setelah mengunjungi Istana Ratu Boko Minggu 2 Desember 2012 sekitar pukul 12 siang, saya bersama teman dan anak saya meluncur menggunakan shuttle bus menuju Candi Prambanan. Dengan waktu tempuh sekitar 15 menit saya pun tiba di perhentian shuttle bus di kompleks Candi Prambanan.
Kami pun melangkah menuju Candi Prambanan. Namun sebelum memasuki jalan masuk candi, di sebuah pos yang terdapat para petugas kompleks candi meminta kami untuk memakai kain batik dengan warna dasar putih. Saya pun bertanya kepada para petugas “kenapa harus menggunakan kain batik ini pak?” petugas pun menjawab “sebagai salah satu cara untuk pelestarian batik dan untuk menandakan pengunjung Candi Prambanan”. Saya dan teman saya pun memakai kain batik tersebut dan beranjak masuk menelusuri sebuah jalan menuju Candi Prambanan.

Sebelum memasuki kompleks Candi Prambanan, di pinggir jalan masuk ada sebuah halaman yang bisa digunakan untuk mengabadikan momen dengan latar candi prambanan. Saya pun tidak menyianyiakan kesempatan untuk mengabadikan momen mengunjungi candi prambanan bersama anak saya.
Candi Prambanan terletak di desa Prambanan kurang lebih 20 km  timur Yogyakarta dan 40 km sebelah barat Surakarta. Lokasinya persis di perbatasan antara Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Wilayah Candi Prambanan sendiri dibagi antara Kabupaten Sleman dan Klaten.

Candi Prambanan kerap kali diasosiasikan dengan legenda Roro Jongrang yang saat ini menjadi patung Dewi Durga disalah satu sisi Candi Prambanan.  Itu pula yang ada di pikiran saya, Candi Prambanan identik dengan legenda Roro Jongrang. Lantas seperti apakah legenda Roro Jongrang dan Bandung Bondowoso tersebut.

Menurut sebuah sumber diceritakan bahwa Legenda ini bercerita tentang tragedy dari seorang pria yang sangat berkuasa bernama Bandung Bondowoso yang ingin menikahi seorang putrid bernama Roro Jonggrang yang merupakan putri seorang raja bernama Prabu Boko. Tetapi sang putri menolak secara halus dengan memberikan permintaan dibuatkan 1000 patung dalam waktu 1 malam.

Ketika Bandung Bondowoso membuat patung terakhir yang dibantu oleh sekelompok  jin, Roro Jonggrang dengan dibantu oleh sekelompok wanita menumbuk padi dengan alat penumbuk. Aktivitas wanita tersebut untuk menandakan bahwa pagi segera tiba dan membuat api unggun besar di sebelah timur yang menyebabkan arah timur menjadi berwarna merah seperti matahari telah terbit.

Melihat hal tersebut membuat sekelompok jin yang membantu Bandung Bondowoso percaya bahwa pagi telah tiba dan mereka pun menghilang. Roro Jonggrang segera menghampiri Bandung Bondowoso dalam meditasinya dan menginformasikan bahwa dirinya telah gagal memenuhi permintaannya.
Setelah mengetahui kebohongan Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso menjadi sangat marah dan mengutuk Roro Jonggrang menjadi sebuah patung Dewi Durga. Dimana patung tersebut menjadi patung ke 1000 sesuai permintaan Roro Jonggrang.

Candi Prambanan di bangun pada tahun 856 Masehi oleh Rakai Pikatan untuk memperingati kembalinya tampuk kekuasaan Dinasti Sanjaya. Candi ini diabaikan 1 abad kemudian dan pada abad ke 16 hancur karena gempa bumi besar. Kemudian pada tahun 1930 Candi ini di restorasi yang dilakukan hingga saat ini.

Sebelum memasuki pelataran kompleks candi, kita akan menemukan sebuah plang yang menginformasikan bahwa candi prambanan merupakan warisan budaya dunia nomor 642 yang ditetapkan oleh UNESCO. Saya masuk melalui gerbang timur dan ketika memandang lurus ke depan tepat dihadapan saya adalah candi nandi yang dibayangi oleh candi siwa dibelakangnya. 

Saat saya memasuki kompleks candi prambanan, saya terpukau melihat keindahan arsitektur bangunan candi. Saya berkeliling di dalam kompleks candi sembari menikmati keindahan bangunan candi. Saya terkagum-kagum melihat bangunan candi siwa yang tinggi menjulang membelah langit dengan ketinggiannya yang mencapai 47 meter. Awan kelabu mulai menggelayut di atas langit candi padahal hari masih siang dan terik mentari masih terasa.

Saya pun menuju ke Candi Siwa yang berada di sisi sebelah barat dari pintu masuk yang merupakan candi terbesar dan terpenting di komplek prambanan. Di sekeliling luar Candi ini di pagari sebuah trails. Saya menuju pos petugas yang ada di sisi sebelah kanan pintu masuk candi. Di pos  tersebut kami diminta memakai helm pengaman karena dikhawatirkan ada runtuhan candi yang menimpa pengunjung. Sejak Gempa Bumi tahun 2006, Candi ini mengalami beberapa keretakan dan harus di tempel agar tetap kuat.

Candi Siwa merupakan candi terbesar dengan luas 34 meter persegi dan tinggi 47 meter. Dinamakan candi siwa karena didalamnya terdapa arca Siwa Mahadewa. Bangunan ini dibagi 3 bagian secara vertical yaitu kaki, tubuh dan kepala/atap. Candi ini memiliki empat pintu masuk yang sesuai dengan arah mata angin. Pintu utamanya menghadap ke timur dengan tangga masuknya yang terbesar dan terdapat arca penjaga raksasa mengapit tangga tersebut.

Didalam candi siwa terdapat empat kamar sesuai arah mata angin dan keempat kamar tersebut berisi arca siwa mahadewa, siwa mahaguru, ganesha dan durga. Didasar kaki candi sendiri dikelilingi oleh relief cerita Ramayana. Hiasan pada dinding berupa makhluk-makhluk surgawi seperti kinari dan kalamakara. Sedangkan atap candi bertingkat tingkat dengan susunan yang amat kompleks yang dihiasi sejumlah ratna dengan ratna terbesar di puncaknya. Ketika berkeliling candi siwa, teman saya pun beujar “bagaimana dengan teknologi masa lalu dapat mendirikan bangunan semegah dan seindah ini?” pertanyaan yang saya sendiri pun tidak mengetahui jawabannya.

Setelah menikmati keindahan arsitektur bangunan candi maka kami pun beranjak menuju pintu keluar di sebelah utara candi. Kami melewati area bermain, museum arkeologi dan audiovisual, restoran, toko cindera mata dan menuju ke arah parkiran. Pengunjung sengaja diarahkan untuk melewati objek-objek tersebut. Jika di dalam komplek bangunan candi terkesan gersang maka ketika menuju keluar candi, pengunjung akan melewati ruang terbuka hijau yang memberikan kesan sejuk ketika melewatinya. Saya tidak membeli oleh-oleh apapun disana, hanya melewati toko cinderamata. 

Rupanya perjalanan saya ke candi prambanan harus berakhir karena saya harus kembali ke UGM untuk menjemput istri melanjutkan petualangan di kota Yogyakarta.

Friday, December 21, 2012

Ratu Boko, Istana Megah di Puncak Bukit





Minggu, 2 Desember 2012 pada awalnya saya berencana mengunjungi candi prambanan seusai pelaksanaan Ujian Japanese Language Proficiency Test (JLPT ) di FIB UGM yang diikuti oleh istri saya. Saya sangat antusias sekali bisa mengunjungi candi hindu termegah di Indonesia bahkan Asean karena inilah untuk pertama kalinya saya dapat mengunjungi candi tersebut.

Namun rencana semula gagal setelah salah seorang teman lama saya ketika bekerja di salah satu perusahaan asuransi ternama mengajak pergi ke candi tersebut lebih awal. Sebelumnya saya telah mempertimbangkan bahwa istri saya tidak tertarik ke candi tersebut karena sudah pernah mengunjunginya dan hari sudah terlalu siang jika harus menunggu ujian selesai.

Sekitar pukul 10 lewat saya bersama teman dan anak saya yang berumur 1,5 tahun meluncur dengan menggunakan sepeda motor. Setelah menelusuri jalan gejayan dan melalui ring road utara menuju ke arah timur kea rah solo. Mendekati lokasi candi, dari kejauhan sudah terlihat kemegahan arsitektur bangunan candi prambanan. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit maka kami pun tiba. 

Setelah memarkirkan kendaraan, kami pun berjalan melewati pusat oleh-oleh menuju loket pembelian karcis. Petugas di loket pun bertanya “paket dengan ratu boko atau hanya candi prambanan saja?”. Jika paket dengan ratu boko maka harga tiketnya menjadi Rp.45,000 dan jika prambanan saja maka harga tiketnya hanya Rp.30,000. Sempat berfikir sejenak karena memang saya pernah mendengar tentang keindahan candi ratu boko melalui artikel yang ditulis oleh Teguh Sudarisman. Mengingat hal tersebut maka saya mengambil paket dengan candi ratu boko seharga Rp.45,000.

Kami pun berjalan masuk melewati pintu pemeriksaan tiket dan di arahkan menuju perhentian shuttle bus yang akan mengantarkan kami menuju candi ratu boko. Setelah mampir di kantor pengelola untuk mengambil beberapa brosur berbahasa inggris, jepang, jerman dan perancis mengenai candi prambanan. Kami pun sempat berfoto sejenak di sekitar perhentian bus setelah itu kami pun meluncur dengan menggunakan phanter. Mobil pun berjalan menuju pintu gerbang luar setelah menyeberangi sungai opak yang terkenal karena luncuran lahar dingin merapi mengalir ke sungai ini. 

Candi Ratu Boko Sendiri berjarak sekitar 3 km ke arah selatan dari candi prambanan. Di perjalanan kami melewati sebuah pasar di sisi sebuah pertigaan jalan raya jogja-klaten. Setelah itu pemukiman dan sawah yang hijau terhampar memanjakan mata menemani perjalanan menuju candi. Panther pun meraung-raung ketika melalui jalanan menanjak dan curam. Sekitar 15 menit perjalanan, kami pun tiba dipelataran parkir yang cukup sejuk karena ada sebuah pohon beringin besar melindungi pengunjung dari sengatan matahari yang mengganas di siang hari. Kami pun diberi sebotol air mineral di loket masuk candi ratu boko yang pastinya akan menghapus dahaga di siang yang panas ini. 

Kami berjalan menanjak menuju ke gerbang candi ratu boko.Sekitar 5 menit berjalan tampak gerbang candi yang megah berdiri disana dan di sisi sebelah kiri jalan, sebuah kolam dengan air mancur memancar membuat suasana menjadi terasa sejuk di siang hari dengan panas menyengat ini. 

Supir yang mengantarkan kami ke candi ratu boko ini bercerita bahwa ratu boko sebenarnya adalah raja dan dialah ayah dari roro jongrang. Adapun candi yang saat ini bernama ratu boko merupakan sebuah istana. Sedangkan menurut sebuah prasasti abhayagiriwihara tahun 792, pada awalnya situs ini merupakan wihara. Namun sekitar tahun 856 menurut prasasti ratu boko, situs ini berubah menjadi kediaman seorang penguasa bernama Rakai Walang Pu Kumbhayoni yang beragama hindu.

Candi Ratu boko sendiri terdiri dari beberapa situs yaitu candi pembakaran, candi pandang, goa wadon, goa lanang serta paseban dan keputren. Dari beragam peninggalan tersebut dapat disimpulkan kemegahan istana ratu boko ketika itu yang memiliki luas sekitar 250,000 meter persegi.

Bangunan gerbang candi yang megah seakan menyambut para pengunjung yang datang. Gerbang candi terdiri dari 2 bagian, bagian depan dan belakang. Gerbang candi bagian depan terdiri dari 3 bangunan dengan 2 bangunan yang lebih kecil mengapit bangunan gerbang utama. Sedangkan gerbang candi bagian belakang terdiri dari 5 bangunan dengan 4 bangunan yang lebih kecil mengapit bangunan utama. 4 bangunan yang mengapit bangunan gerbang utama memiliki 2 ukuran yang berbeda yang semakin mengecil ke sisinya. 

Keindahan arsitektur bangunan gerbang candi ratu boko menjadi daya tarik utama bagi para pengunjung. Tak heran banyak dari pengunjung berfoto di depan gerbang dan sebagian yang lain asyik berteduh di bawah bangunan. Pepohonan di sekitar situs dan rumput yang hijau memberikan kesan sejuk walau di siang hari yang panas sekalipun.

Karena kami harus kembali ke UGM sekitar jam 2 siang maka sekitar pukul 12 siang kami pun beranjak menuju candi prambanan meskipun saya sendiri belum begitu puas berada disana, menikmati keindahan alam dan arsitektur bangunan di puncak sebuah bukit dengan ketinggian 195 meter. Namun saya pun masih menyimpan rasa penasaran saya terhadap candi prambanan yang akan saya puaskan.

Saturday, December 15, 2012

Mencicipi Angkringan dan Kopi Joss Yogyakarta





Selepas menunaikan shalat magrib 1 Desember 2012, saya dan keluarga keluar dari penginapan dengan tujuan utama mencicipi Kopi Joss yang telah ternama. Sebelumnya ketika di pesawat menuju Yogyakarta, fahri salah seorang penumpang yang duduk di sebelah saya memberikan informasi bahwa jika ingin mencicipi Kopi Joss dari arah malioboro ke arah utara menyeberangi rel kereta menuju jalan mangkubumi. Disana ada banyak angkringan dan kopi joss yang bisa di coba. Fahri sendiri berasal dari Muntilan, pernah kuliah di Fisipol UGM dan saat ini bekerja di LIPI Jakarta.

Matahari baru saja terbenam, namun keramaian malioboro baru dimulai. Semenjak kaki melangkah keluar dari kawasan sosrowijayan terlihat kesibukan para pedagang dan wisatawan di jalan malioboro. Saya menelusuri sisi sebelah kiri jalan malioboro atau sisi barat jalan tersebut menuju ke arah utara. Berbagai macam pedagang sibuk menawarkan barang dagangannya kepada para wisatawan. Jarak antara sosrowijayan dengan jalan mangkubumi sekitar 500 meter dan saya menempuhnya dengan waktu sekitar 15 menit saja. Setelah melewati rel kereta yang mengarah ke stasiun tugu akhirnya kami tiba di jalan mangkubumi. 

Setibanya di jalan mangkubumi, saya melihat kondisi sekitar yang ternyata terdapat banyak penjaja angkringan dan kopi joss di sekitar jalan tersebut, baik disisi kanan maupun di sisi kiri. Saya memilih mendatangi angkringan kopi joss pak agus yang berada di sisi timur jalan mangkubumi di depan sebuah pertigaan jalan yang di jalan masuk pertigaan tersebut banyak juga penjaja angkringan. Angkringan kopi Joss Pak agus terlihat lebih mentereng dengan spanduk terpasang di atasnya dan terlihat beberapa pengunjung berada disana.

Angkringan Kopi Joss Pak Agus berukuran sekitar 2x3 meter, di tempat tersebut terdapat 2 buah panggulan yang satu berisi aneka gorengan di bagian bawahnya dan nasi kucing di bagian atasnya. Disebelah panggulan tersebut tersedia berbagai jenis sate diantaranya sate keong, sate ati ampela, sate usus, sate telur puyuh. Berseberangan dengan panggulan 1 ada panggulan lain yang berisi perlengkapan untuk membuat minuman seperti kopi joss. Namun para pengunjung dapat menikmati santapannya di sebuah trotoar yang telah diberi tenda yang berada tepat di belakang angkringan ini.

Saya pun memesan satu nasi kucing dengan tempe goreng ditambah satu sate keong dan tidak ketinggalan satu buah kopi joss. Nasi kucing sendiri adalah nasi yang berukuran kecil mungkin seperempat piring ditambah dengan sambal yang dicampur dengan ikan teri. Dinamakan nasi kucing karena ukurannya yang kecil dan pas untuk kucing. Tak lama kopi joss yang saya pesan hadir dan bara arang yang masih menyala mengapung di atas kopi tersebut ditambah asap mengepul keluar dari mulut gelas membuat hangat suasana malam itu.

Ketika mencicipi kopi Joss, rasanya seperti kopi tubruk biasa tetapi terdapat tambahan aroma arang hitam ketika menghirupnya. Rasanya sungguh nikmat menyeruput segelas kopi joss hangat di cuaca malam Yogyakarta yang cukup dingin.   

Sosrowijayan yang legendaris itu





Setibanya di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta 1 Desember 2012, waktu menunjukan pukul 12 siang. Saya bergegas menuju Halte Bis Trans Jogja untuk menuju Halte Janti, halte terdekat dengan tempat saya menginap. Ketika tiba di Halte janti saya pun langsung menghubungi pihak hotel yang telah saya booking 3 bulan sebelumnya. Alangkah terkejutnya saya ketika menerima informasi bahwa tidak ada booking atas nama saya dan kamar di atas standard sudah penuh.

Setelah beristirahat sejenak dan menunaikan sholat di sebuah mesjid di daerah janti. Kami memutuskan untuk menghubungi Hotel Merbabu yang berada di daerah sosrowijayan. Hotel Merbabu sendiri kami dapatkan informasinya dari sebuah buku Travelicious karya Ariyanto. Saya pun menghubungi pihak hotel merbabu dan didapatkan informasi hanya tersisa satu kamar deluxe plus seharga Rp.270 ribu per malam. Setelah berdiskusi dengan istri, akhirnya kami memutuskan untuk menginap di Hotel Merbabu di daerah Sosrowijayan. 

Sangat mudah untuk mencapai malioboro dari janti. Dengan menggunakan Trans Jogja seharga Rp.3000 per orang dan ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit akhirnya kami pun tiba di halte malioboro 1 di depan hotel inna garuda. Sebelumnya petugas hotel merbabu menginformasikan bahwa jika naik trans jogja berhenti di halte malioboro 1 di depan hotel inna garuda. Dari halte malioboro 1 kami langsung menyeberang jalan dan bertanya sedikit kepada tukang becak yang langsung mengarahkan kami ke jalan sosrowijayan. Mata saya menangkap sebuah nama jalan dengan warna tulisan putih dan dasar tulisan berwarna hijau. Dibawah nama jalan sosrowijayan dituliskan dengan aksara jawa kuno. Nama jalan tersebut terpampang disebuah tiang dengan hiasan ornament klasik.

Sosrowijayan, namanya sudah saya kenal ketika membaca literatur mengenai wisata ala backpacker ke Yogyakarta bahkan mungkin sudah melegenda di kalangan para backpacker. Penginapan di daerah sosrowijayan merupakan pilihan utama bagi para backpacker. Disamping karena harganya yang murah, sekitar Rp.90 ribuan per malam juga kemudahan akses menuju daerah tujuan wisata dari sosrowijayan. Jika menginap di sosrowijayan maka kita dapat dengan mudah untuk mencapai malioboro, banteng vredeburg, keraton, taman sari, tugu, taman pintar, monumen peringatan serangan umum satu maret.

Dari segi aksesibilitas, sosrowijayan mudah dicapai dan dapat menjangkau daerah wisata lainnya. Adanya halte trans jogja dan stasiun tugu yang berjarak tidak jauh dari sosrowijayan akan memudahkan para pengunjung untuk datang dan pergi baik ke tempat tujuan wisata ataupun sebaliknya.
Di daerah sosrowijayan ini tidak hanya tersedia penginapan murah, hotel bintang 3 pun tersedia disini. Selain itu beragam fasilitas wisata tersedia disini seperti restaurant, travel agent, perbelanjaan souvenir dan oleh-oleh, atm, penyewaan mobil dan motor, toko buku, laundry sampai toko sepeda onthel ada disini.

Jalan Sosrowijayan berbatasan langsung dengan jalan malioboro di sebelah timur. Ketika memasuki mulut jalan ini, di sisi kanan jalan sudah berjejer angkringan dan penjual mie ayam. Tidak jauh dari pertigaan jalan sudah ada hotel modern di sisi kanan dan kiri jalan. Lalu setelah melewati toko souvenir dan penyewaan mobil/motor  terdapat gang 1 dan disitulah hotel merbabu yang saya tinggali untuk 2 malam berada. Jarak dari mulut gang hanya sekitar 50 meter dan nama hotel merbabu tergantung di antara dua buah bangunan yang mengapitnya. Saya pun tiba untuk melepas lelah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan wisata di kota Yogyakarta ini.