Friday, December 6, 2013

Master Of Civets






Binatang berbulu hitam lebat dengan moncong yang sedikit runcing serta kumis putih panjang itu memperhatikan gerak gerik saya ketika akan mengambil gambarnya. Sorot matanya tajam melihat ke arah saya, sedetik kemudian binatang tersebut berjalan jalan di dalam kandangnya.

Sapri mempersilahkan saya untuk masuk ke dalam sebuah tempat yang dijadikan kandang-kandang luwak berukuran masing-masing 1 meter persegi per ekornya. Kandang-kandang tersebut terdiri dari dua lorong. Ketika saya berjalan di dalam lorong tersebut ada seekor luwak yang sedang berdiri mengeluarkan kuku-kukunya di jeruji besi yang melintang. Perasaan khawatir mulai muncul, kalau-kalau luwak tersebut mampu menjangkau saya dengan kuku-kukunya yang tajam dari arah depan dan belakang. Untung saja hal itu tidak terjadi.

Rupanya di kandang-kandang luwak ini terdapat dua jenis luwak, yaitu luwak yang berwarna hitam lebat dengan ukuran besar yang merupakan jenis luwak pandan. Sedangkan luwak yang berwarna coklat dengan ukuran yang lebih kecil merupakan jenis luwak bulan. “Yang kecil lebih agresif dibanding yang besar” tutur Sapri.

Di tempat ini terdapat sekitar 100 ekor luwak yang kandangnya di sekat-sekat. Kandang sederhana yang dibuat dari papan-papan dan balok serta jeruji besi. Bangunan yang disanggah oleh balok kayu memiliki atap bangunan sederhana yang di buat dari seng atau atap berbahan plastic agar cahaya tetap bisa masuk ke dalam kandang luwak. Dibawah kandang-kandang luwak tersebut disediakan jaring untuk menampung feses luwak.

“Biasanya luwak ini diberikan kopi yang berwarna merah pada malam hari dan pagi harinya feses-feses tersebut ditampung di dalam jaring yang terdapat di bawah kandang luwak” ujar Sapri memberikan penjelasan. Namun rupanya luwak ini tidak hanya di berikan makan kopi saja, di tempat usahanya ada beberapa karyawan yang mempersiapkan makanan untuk para luwak berupa papaya dan pisang.

Tepat di depan kandang-kandang tersebut biji-biji kopi sedang di jemur di atas sebuah terpal berwarna biru. Kopi yang dijemur tersebut hanya kopi biasa bukan kopi hasil dari olahan pencernaan luwak. Produksi kopi luwak sendiri bergantung pengiriman dari petani kopi. “Biasanya dikirim sekitar 10 kg sampai 1 kwintal per harinya” Sapri menambahkan.

Sapri sendiri merupakan pengusaha kopi luwak dengan merk dagang Ratu Luwak. Kopi-kopi produksinya sudah diekspor ke beberapa Negara asia dan eropa. Hanya saja untuk proses ekspornya Sapri menggunakan jasa broker sehingga harga ketika di pasaran dunia sudah tinggi.

Setelah berkeliling di kandang-kandang luwak tersebut, Sapri mengajak saya menuju gudangnya. Letaknya tidak terlalu jauh hanya melewati beberapa rumah saja. Sambil berjalan menuju gudangnya, Sapri menjelaskan bahwa kopi luwak ini dimulai pada tahun 2006. Pada waktu itu para petani mencari kopi-kopi hasil pencernaan luwak di hutan-hutan, namun seiring berjalannya waktu luwak-luwak ini dipelihara dan diberi makan kopi sehingga mampu menghasilkan kopi luwak secara berkelanjutan di tahun 2008.

Setelah tiba di sebuah rumah yang cukup bagus, kemudian saya pun diajaknya masuk ke dalam rumah tersebut yang ternyata di salah satu bagian rumah tersebut dijadikan tempat penyimpanan biji-biji kopi dalam karung-karung beras. Di bagian belakang rumah ini beberapa karyawannya menyortir bijih kopi untuk kualitas terbaik. “Sedang ada yang pesan dari jerman dan ini di sortir sehingga didapat kualitas terbaik untuk ekspor” ujarnya.

Di salah satu ruangan terdapat bijih kopi dalam bungkusan plastic yang siap untuk dikirim kepada pemesan. Ada juga bijih kopi luwak yang sudah di sangrai dan ditempatkan dalam kotak plastic. “Hmm aroma kopinya harum ya” ujar salah seorang teman.

Sayang hari ini tidak ada proses produksi kopi luwak yang dimulai dari proses pencucian feses luwak sampai proses penjemuran dan sangrai. Namun begitu saya pun mendapatkan kesempatan untuk mencicipi kopi luwak robusta secara gratis.

Sapri mengajak saya untuk melihat produk kopi luwak yang sudah di kemas dan siap dijual untuk di konsumsi. Ternyata lokasinya berada di seberang rumah yang merupakan gudang tadi. Sapri dengan ramah mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahnya.

Di sebelah kiri pintu rumahnya terdapat lemari etalase yang cukup besar setinggi 2 meter di dalam lemari tersebut tersimpan produk-produk yang siap dijual dengan beragam ukuran mulai dari 100 gram, 250 gram, 500 gram dan 1 kilogram. Jenis kopinya pun beragam ada kopi robusta, arabika dan kopi luwak robusta dan arabika. Untuk kopi luwak robusta dengan berat 100 gram dihargai Rp.50,000 sedangkan untuk kopi luwak arabika dengan berat yang sama dihargai Rp.70,000.

“Cicipin kopi luwaknya dulu ya?” Sapri menawarkan. Pada awalnya saya dan teman-teman menolak tapi akhirnya kami pun menerima tawaran tersebut. Setelah menunggu beberapa saat, datanglah seorang laki-laki muda membawa beberapa cangkir kecil dalam sebuah nampan. Saya pun menerima kopi luwak yang masih panas tersebut dan didiamkan beberapa saat agar hangat. Warna kopinya kecoklatan tidak hitam pekat dan rasanya sedikit asam namun nikmat tidak terasa pahit. Saya pun menyeruput sedikit demi sedikit dan tanpa terasa habis juga kopi luwak robusta yang memang nikmat tersebut.

Sebelum pulang saya membeli kopi luwak arabika seharga Rp.70,000 dengan berat 100 gram untuk dicicipi di rumah. Saya ingin mengetahui perbedaan rasa antara kopi luwak robusta dan arabika. Kalau di rumah Sapri saya mencicipi kopi luwak robusta maka di rumah nanti saya akan mencicipi kopi luwak arabika.



BOKS:
Alamat Produsen Kopi Luwak
Ratu Luwak –Sapri-
Jl.Raden Intan Gg. Pekonan No.98 Way Mengaku, Kec. Balik Bukit Liwa Lampung Barat

Thursday, December 5, 2013

Mencicipi Gurihnya Sate Bandeng





Hawa panas begitu terasa ketika saya masuk ke dalam ruangan pembakaran sate bandeng yang berada di bagian depan rumah. Bara-bara api masih menyala, membakar sate bandeng yang telah berjajar diatas tempat pembakaran sederhana yang terbuat dari tumpukan bata merah. Aroma sate bandeng pun tercium dari ruangan pembakaran ini.

Ruangan pembakaran sate bandeng ini amat sederhana, terletak di bagian depan rumah dari ibu Haji Mariyam. Hanya bagian depannya saja yang terbuka, bagian lainnya dikelilingi tembok dengan beberapa lubang ventilasi dan di salah satu bagiannya terhubung dengan tempat penjualan sate bandeng. Beberapa bakul yang terbuat dari anyaman bamboo berada di tengah-tengah ruangan dan siap menampung sate bandeng yang telah dibakar.

Untuk membakar sate bandeng, di ruang pembakaran ini terdapat dua buah tempat pembakaran yang panjangnya mencapai 3-4 meter yang masing-masing bisa membakar sekitar 40 sate bandeng. Kedua tempat pembakaran ini berjajar dengan dipisahkan oleh jarak sekitar 2-3 meter mendekati tembok. Para pemuda membakar sate bandeng dengan posisi bertolak belakang.

Di setiap tempat pembakaran sate bandeng, terdapat setidaknya dua orang pemuda. Seorang pemuda tengah sibuk mengangkat sate bandeng yang telah matang dan menaruhnya di bakul bamboo tadi. Pemuda lainnya mengolesi adonan di bagian luar dari bandeng yang telah dijepit oleh bamboo lalu menaruhnya di tempat pembakaran.

Ruang pembakaran ini memang hanya untuk membakar saja , sebelumnya sate bandeng yang siap dibakar diberikan oleh bagian dapur di ruangan lain tak jauh dari ruangan pembakaran. “Kalau mau lebih tahu proses pembuatannya dari awal bisa ke dapur mas.”ujar salah seorang pemuda di ruangan pembakaran. Saya pun bergegas menuju ke ruangan dapur. “Silahkan mas kalau mau ke dapur” seorang wanita paruh baya mempersilahkan saya sembari membersihkan daun pisang yang akan digunakan alas untuk sate bandeng.

Ruangan dapur ini terletak di seberang ruangan pembakaran dan di antara keduanya ada ruangan penjualan yang ruangannya agak menjorok ke dalam. Rupanya d ruangan dapur, empat orang wanita dan seorang pemuda tengah sibuk, masing-masing melakukan tugasnya sambil duduk diatas tempat duduk kecil.

Seorang wanita berambut ikal mempersiapkan adonan yang berupa campuran daging ikan bandeng, santan kental dan bumbu bumbu. Dua orang wanita lainnya memasukkan adonan yang telah dibuat tadi ke dalam ikan bandeng melalui rongga mulut ikan tersebut dengan menggunakan corong plastic. Sedangkan seorang wanita lagi menjepitkan ikan bandeng yang telah diberi adonan tadi ke dalam dua bilah bamboo untuk selanjutnya siap di bakar. Satu-satunya pemuda yang ada di ruangan tersebut melunakkan daging dan memisahkan duri-duri kecil dari dagingnya.

Setelah sate bandeng siap di bakar, maka sate bandeng yang telah di jepit tadi dibawa ke ruang pembakaran untuk selanjutnya di bakar sampai dengan matang dan siap di santap.

Rupanya untuk membuat sate bandengan diperlukan dua kali proses pembakaran. Proses pembakaran yang pertama untuk mematangkan isi dari ikan bandeng ini sendiri. Lalu setelah matang, sate bandeng di angkat lalu bagian luar satenya dilumuri oleh bumbu santan kental tadi sampai menutup seluruh bagian dengan ketebalan sekitar 0,5 cm. Kemudian sate bandeng yang telah diolesi bumbu di bagian luarnya kembali di bakar di ruang pembakaran.

Setelah saya puas melihat proses pembuatan sate bandeng tadi saya beranjak ke ruangan penjualan sate bandeng yang ruangannya berada di antara tempat pembakaran dan ruangan dapur. Disana saya membeli dua buah sate bandeng yang masing-masing harganya Rp25,000,-. Seorang pemuda melayani dengan ramah setiap pelanggan yang ingin membeli sate bandeng tersebut dan membungkus dengan kotak khusus agar pelanggan mudah membawanya.

Ketika tiba di rumah saya pun mencicipi sate bandeng tersebut, rasanya gurih dan sedikit manis.Begitu nikmat karena ditambahkan sambal khusus apalagi durinya sudah tidak ada rasanya lebih nikmat bukan.



Monday, November 4, 2013

Pulau Kemaro dan Kisah Cinta Putri Sriwijaya


Perahu ketek yang saya tumpangi bersama dua rekan saya sesekali bergoyang keras ketika terhempas oleh gelombang sungai musi. Rinai-rinai hujan yang semakin lebat menambah suramnya perjalanan saya ke pulau kemaro. Namun keinginan saya yang besar tidak menyurutkan semangat saya untuk bisa berlabuh di pulau kemaro.
Suara bising mesin di perahu ketek menemani perjalanan kami, perlahan perahu menjauh dari dermaga dan mulai berjalan ke arah hilir. Sesekali perahu kami disusul oleh perahu boat, yang bermesin layaknya kapal boat. Perahu ketek yang kami tumpangi pun berjalan menjauhi jembatan ampera.
Awalnya hujan yang turun pada saat saya berada di tepian sungai musi hanya rintik-rintik saja. Namun ketika saya mulai menaiki perahu ketek dan berada di awal perjalanan menuju pulau kemaro tiba-tiba saja hujan turun semakin lebat. Pak yusuf yang mengendalikan ketek meminta kami untuk memakai pelampung “pakai saja de pelampungnya!” ujarnya.
Saya bersama dua teman saya pun menelusuri sungai musi menuju pulau kemaro dengan perahu ketek pak yusuf, setelah sebelumnya tawar menawar harga akhirnya disepakati bahwa satu orang akan dikenakan biaya Rp.30,000 untuk perjalanan pulang pergi dari jembatan ampera ke pulau kemaro.
Menelusuri sungai musi dibawah bayang-bayang hujan yang cukup lebat merupakan pengalaman pertama yang saya alami. Sesekali goncangan terhadap perahu begitu kencang membuat jantung berdebar khawatir perahu berbalik, namun saya bisa sedikit lebih tenang karena saya bisa berenang. Untunglah pula saya membawa payung dan jaket tebal saya kenakan agar hujan tidak membuat saya kuyup. Meskipun perahu ketek ini beratap namun angin membawa hujan dari sisi-sisi perahu sehingga membuat pakaian yang saya kenakan sedikit basah.
Setelah berjalan sekitar 20 menit, dari kejauhan sudah terlihat pagoda yang menjulang berada di tengah-tengah pulau kemaro. “itu pulau kemaro” teriak salah seorang teman sambil menunjuk ke arah pulau tersebut. Intensitas hujan sudah mulai berkurang ketika kami tiba di tepi dermaga pulau kemaro namun hujan rintik-rintik masih menemani.
Sebuah gapura berwarna merah dengan hiasan dua buah naga di puncaknya menyambut kami ketika tiba di pulau kemaro. Setelah berjalan masuk, rupanya sudah ada beberapa pedagang minuman dan makanan di sisi kanan dan kiri jalan dengan menempati tenda sederhana.
Jalan yang sudah diplester mengarahkan kami menuju pagoda yang merupakan daya tarik utama pulau kemaro. Sebelum menuju pagoda di sebelah kanan saya berjalan ada sebuah klenteng, inilah klenteng Soei Goeat Kiong yang dibelakang klenteng ini terdapat makam siti Fatimah dan Tan boen an.
Setelah melewati klenteng dari kejauhan terlihat kemegahan bangunan pagoda berlantai Sembilan dengan harmonisasi warna biru, kuning dan merah khas cina. Ketika saya tiba di dekat pagoda tersebut rupanya sudah ada sekelompok wisatawan lain yang berada disana yang sedang mengabadikan momen.  
Pagoda yang dibangun tahun 2006 ini terasa megah dengan tingginya yang menjulang yang berada di tengah pulau kemaro. Di antara pintu masuk menuju lantai dua ada 2 buah patung  singa dan di sisi tangganya dihiasi oleh patung naga yang seolah sedang bergerak turun.
Tak jauh dari pagoda tersebut ada sebuah patung budha yang berdiri dengan tangan kanan memegang uang emas sedangkan tangan kirinya menggenggam sejenis tasbih. Pulau kemaro ditumbuhi pohon yang tinggi menjulang menambah kesejukan pulau tersebut.
Di pulau kemaro juga terdapat sebuah batu nisan yang mengisahkan legenda asal muasal terbentuknya pulau kemaro. Cerita bermula ketika seorang pemuda Tiongkok bernama Tan Bun An mempersunting seorang Putri Kerajaan Palembang, Siti Fatimah. Setelah itu, Tan Bun An mengajak Siti Fatimah ke Tiongkok untuk menemukannya dengan kedua orangtuanya. Pulang dari sana, mereka lalu diberi hadiah berupa 7 buah guci berisi emas yang di atasnya ditutupi dengan sayur-sayuran. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi para pembajak selama di perjalanan.

Sesampai di tengah perairan sungai Musi, lantas Tan Bun An memeriksa 7 guci tersebut. Namun alangkah marah bercampur kecewa Tan Bun An ketika mengetahui bahwa isi guci itu adalah sayur-sayuran. Tak menunggu lama, Tan Bun An kemudian membuang sayur dan guci tersebut ke sungai. Ketika guci yang terakhir hendak dibuang, guci tersebut terhempas pada dinding kapal dan pecah berantakan sehingga terlihatlah kepingan emas yang ada didalamnya.

Tan Bun Ann pun menyesal, lalu ia terjun ke dalam sungai untuk mencari kembali guci-guci tersebut. Namun sayang, Tan Bun An tidak muncul lagi. Melihat akan hal itu, Siti Fatimah menjadi sedih. Maka ia pun memutuskan untuk menyusul ke dalam sungai untuk mencari Tan Bun An.

Namun sebelum terjun, Siti Fatimah sempat mengatakan, bahwa bila ia tidak berhasil menemukan kekasih tercinta dan bila suatu saat ada gundukan tanah yang muncul dari dalam dasar sungai ini, maka di sanalah kuburan saya. Dan ternyata benar, tiba-tiba dari bawah sungai timbul gundukan tanah yang akhirnya sekarang diyakini oleh warga setempat menjadi Pulau Kemaro. Begitulah legenda asal muasal terbentuknya pulau kemaro sekitar 7 abad yang lalu.

Setelah puas berada di pulau kemaro maka saya pun bergegas kembali ke demaga untuk menaiki perahu getek menuju jembatan ampera. Ketika perjalanan kembali ke jembatan ampera langit cerah dan matahari kembali bersinar, awan kelabu pun menyingkir seakan mempersilahkan pulau kemaro menunjukkan keindahannya.

Thursday, May 30, 2013

Sensasi Waterboom Lembah Hijau Bandar Lampung

m
Menara Wahana Boomerang


Motor tua yang saya tumpangi hampir saja tidak kuat melalui jalan yang menanjak, untung saja dengan keahlian tukang ojek menaikkan dan menurunkan persneling saya bisa tiba di lembah hijau. Udara sejuk mulai terasa ketika saya tiba di lembah hijau yang memiliki ketinggian sekitar 700 meter. Pepohonan yang rindang di sebuah lembah menambah kesejukkan pagi itu.

Barisan loket layaknya pintu tol utama menyambut, di loket tersebut tertera biaya masuk ke lokasi yaitu Rp.10,000 untuk perseorangan. Saya pun membeli 2 tiket untuk masuk ke lokasi dan menanyakan lokasi waterboom. “Terus saja ke bawah pak, ada di sebelah kanan” jawab petugas loket tersebut.

Tak jauh dari loket tersebut, sebuah cinema 4 dimensi ada disisi sebelah kanan dan tepat di sebelahnya setelah parkiran mobil adalah loket masuk ke waterboom lembah hijau. Sebuah pengumuman tertera di loket tersebut yang isinya bahwa anak di atas satu tahun wajib membeli satu tiket. Saya membeli 3 tiket masing-masing seharga Rp.25,000.00 untuk saya, istri dan anak saya yang berusia 2 tahun.

Saya pun masuk ke dalam waterboom, sebuah wahana luncuran terbesar yang ada disana pun terlihat, namanya boomerang dengan ketinggian sekitar  30 meter. Ujung dari wahana ini tidak meluncur ke kolam, namun menanjak ke atas sehingga akan dibuat turun lagi dan naik lagi hingga benar-benar terhenti di bagian bawah.

Wahana lainnya adalah luncuran dengan ketinggian 15 meter di ujung waterboom. Sebuah menara yang memiliki 2 luncuran, 10 meter dan 15 meter berdiri gagah disana. Namun di menara tersebut masih sepi karena memang belum banyak pengunjung yang datang. Waterboom ini memiliki 4 kolam, 2 merupakan ujung luncuran, 1 untuk berenang dan 1 lagi untuk wahana anak.

Saya berjalan melewati wahana untuk anak dan mencari-cari saung untuk beristirahat sejenak dan menyimpan barang-barang. Rupanya banyak saung telah digunakan oleh para pengunjung padahal saya tiba sekitar pukul 9.30 pagi. Setelah mencari-cari akhirnya saya menemukan sebuah saung yang masih kosong, namun setelah dihampiri saung tersebut sudah rapuh alasnya tetapi sisi-sisinya masih kuat. Jadilah saya beristirahat dan menyimpan barang disitu.

Sebenarnya untuk barang-barang bisa dititip di loker yang dikelola waterboom dengan menggunakan koin untuk menyewanya. Hanya saja  koin-koin di dalam loker tersebut belum dikeluarkan oleh pengelola sehingga pagi itu saya belum bisa menyewanya.

Setelah berganti pakaian maka saya pun menemani putri saya yang berusia 2 tahun bermain-main di wahana anak, sementara istri saya melihat-lihat. Lalu bergantian, istri saya bermain dengan putri saya dan saya menunggu di saung sambil saya melihat mereka bermain.
Ketika tiba waktu saya untuk mencoba luncuran 15 meter, saya menaiki anak tangga untuk menuju tempat luncuran tersebut. Setibanya di atas rupanya sudah ada beberapa remaja yang menunggu giliran.

Muncul perasaan takut, khawatir dan cemas sebelum mulai meluncur. Saya memperhatikan terlebih dahulu orang-orang yang meluncur. Cepat sekali mereka meluncur,ketika berbelok terlihat seperti akan keluar lintasan. Namun seorang petugas disana menjamin keamanannya, “Dijamin aman.” Seorang petugas menjamin keamanan luncuran tersebut. Menjawab pertanyaan beberapa remaja tentang keamanan luncuran tersebut.

Setelah saya merasa yakin, maka tibalah giliran saya meluncur. Saya mempersiapkan diri di bagian awal luncuran, sebelum meluncur petugas meminta saya untuk membuka baju untuk kecepatan dan meluncur. Setelah membukanya dan menaruh diantara 2 kaki, saya merebahkan diri dengan kedua telapak tangan bertemu dan disangkutkan ke leher. Mulailah saya meluncur dengan kecepatan sekitar 60-80 km/jam, wusshh. Terpelanting kesana-kemari mengikuti arus dan lintasan dan setelah beberapa menit, byurrr. Saya pun meluncur deras ke atas sebuah kolam.
Wahana luncuran dengan ketinggian 15 meter

Tantangan selanjutnya adalah boomerang dan saya menghampiri loket tersebut, di loket tersebut terpampang sebuah pengumuman. “Rp.20,000/2 orang/ban”. Untuk menaiki wahana boomerang ini dikenakan biaya Rp.20,000 dan akan diberikan ban untuk 2 orang. Ban yang berbentuk angka 8 dengan bagian depan yang lebih runcing. 

Permasalahannya adalah saya hanya sendiri, saya pun bertanya ke loket tersebut. “Bisa sendiri pak?” Tanya dengan penuh harap bisa sendirian. “Maaf pak, tidak bisa. Harus berdua untuk keamanan.” Jawab petugas loket tersebut. Setelah itu maka saya pun mencari teman yang mau diajak meluncur, saya tidak mungkin meluncur dengan istri karena anak saya tidak ada yang menjaga.

Beberapa remaja lewat di depan saung, 2 orang membawa ban dan satu orang tidak. Saya pun bertanya,”ada yang mau meluncur bareng dengan saya?”. Ketiga remaja tersebut saling memandang dan tidak langsung mengiyakan. Hanya menjawab “sebentar om.” Tak lama seorang dari mereka kembali “Ayo om” mengajak saya untuk menaiki wahana boomerang.Segera saja kami menuju ke loket dan membayar Rp.20,000 lalu mengambil ban, kemudian kami menaiki menara dengan tangga yang berputar.

Saya pun menaiki anak tangga sampai ketinggian 30 meter, melelahkan dan membuat kaki pegal. Dari atas menara sebuah pemandangan mengagumkan hadir. Saya melemparkan pandangan ke sekeliling menara, disana terdapat beberapa bukit yang mengelilinginya dan memang waterboom ini berada di lembah.

Setibanya di atas rupanya ada 2 pasang yang sedang mengantri menunggu giliran meluncur, sepasang laki-laki dan sepasang perempuan. Setelah sepasang laki-laki meluncur, maka tinggal menunggu sepasang perempuan meluncur barulah giliran kami. Rupanya salah seorang dari perempuan tersebut belum berani meluncur, meskipun sudah dibujuk oleh temannya. Kami pun menunggu bujukan dari temannya tersebut, namun rupanya bujukan tersebut tidak berhasil malah kami dipersilahkan meluncur terlebih dahulu oleh teman yang dibujuk tadi.

Kami pun menaiki anak tangga, mulai duduk di atas lubang yang terdapat di ban tersebut. Setelah menunggu waktu yang tepat untuk meluncur maka kami pun mulai meluncur setelah diberi dorongan oleh petugas. Kami pun berputar-putar beberapa kali dengan cepat mengikuti jalur lintasan, namun kami tidak dapat melihat pemandangan diluar karena luncuran di bagian atas ditutup seluruhnya. Kami berteriak-teriak selama meluncur kemudian secercah cahaya muncul di hadapan dan tak lama luncuran menurun bergelombang ke bawah dan setelah sampai dibawah kami pun meluncur naik kemudian turun lagi, begitu seterusnya hingga benar-benar berhenti.

Ketika turun ke bawah dengan membelakangi arah, jantung pun berdebar kencang khawatir terjatuh ke belakang, namun itu hanya kekhawatiran saja, nyatanya kami berhenti dengan selamat di dasar luncuran.

Meluncur dari Wahana Boomerang

Rupanya wahana boomerang ini membuat saya ketagihan. Sebenarnya saya ingin mencobanya kembali, namun saya harus bersabar untuk mencobanya di lain waktu karena jika ingin menaiki wahananya kembali maka saya harus membayar Rp.20,000 kembali dan saya harus mencari teman untuk meluncur bersama. Sebuah sensasi wahana yang tidak bisa saya lupakan, pertama kali mencoba dan ingin mencobanya kembali. 

Ujung Lintasan Wahana Boomerang

Wednesday, May 29, 2013

Rehat Sejenak di Taman Wisata Bumi Kedaton




Awan kelabu menggelayut di atas Taman Wisata Bumi Kedaton Bandar Lampung ketika saya bersama istri dan anak saya tiba siang menjelang sore hari tanggal 9 Mei 2013 lalu. Di balik sebuah gapura selamat datang, berbagai pepohonan yang tinggi menjulang membawa kesejukan siang itu. Sedangkan di sebelah kiri gapura, sebuah patung gajah yang sedang duduk mengenakan siger dan kain khas lampung yang tengah menggerakkan belalainya ke atas seolah menyambut
pengunjung yang datang.

Saya bergegas menuju loket penjualan tiket, dimana disana sudah ada beberapa mobil berjajar membeli tiket.  Dengan tiket seharga Rp.8,000 per orang maka saya pun membeli 2 tiket dan dikarenakan anak saya masih dibawah 2 tahun maka tidak perlu membeli tiket.

Saya pun berjalan masuk bersama istri dan anak saya, awalnya saya berjalan menuju ke sebuah lembah yang disisi sebelah kanannya terdapat kebun binatang yang dipagari. Tujuan utama saya adalah menuju ke kebun binatang tersebut untuk menyenangkan hati anak saya. Ternyata pintu masuknya ada di bagian lain sehingga saya harus berbalik arah dan berjalan ke arah parkiran mobil. “Disana pak pintu masuknya yang ada patung singa?” ujar karyawan rumah makan di sekitar taman.

Tiba di hadapan kebun binatang, sebuah patung singa di sisi sebelah kiri pintu masuk menyambut para pengunjung. Sebuah papan selamat datang terpampang disana “Selamat datang di bumi kedaton zoo”. Saya pun beranjak masuk dan tepat dihadapan saya, sepasang burung kakatua jambul kuning sedang bercengkrama di dalam kandangnya.

Saya menelusuri jalan yang mengitari kebun binatang tersebut, rupanya kebun binatangnya tidak seperti yang saya bayangkan. Kebun binatang ini tidak luas dengan koleksi binatang hanya mencapai 49 jenis. Berbeda dengan taman safari cisarua ataupun taman margasatwa ragunan yang memiliki ratusan jenis.

Namun begitu koleksinya cukup beragam,di kebun binatang ini, terdapat 3 kelompok binatang yaitu reptile, mamalia dan unggas. Jenis reptile yang ada di kebun binatang ini antara lain ular, biawak/labi-labi, kura-kura pipi kuning dan buaya. Sedangkan untuk jenis mamalia seperti harimau, beruang madu, monyet, lutung dan kucing akar. Adapun untuk jenis unggas seperti kasuari, cendrawasi, kakatua, elang brontok, kalkun dan ayam mutiara.

Binatang yang baru pertama kali saya temui di kebun binatang ini adalah binturong. Binatang mamalia berbulu seperti serigala yang ketika saya tiba, binatang tersebut sedang mengelayut tidur dengan malasnya disebuah batang pohon yang melintang. Dan ketika saya melihat kalkun, sungguh saya sangat geli melihatnya dengan tubuh seperti ayam yang besar dan kulit berwarna merah seperti jengger ayam didekat paruhnya yang menggelayut ketika berjalan.

Setelah puas mengelilingi kebun binatang ini maka saya pun keluar dari area kebun binatang menuju pintu gerbang. Setelah berjalan di parkiran menuju gerbang depan, saya melihat sebuah mobil pick up yang sudah di modifikasi dengan 3 bangku berjajar di belakangnya yang sudah diberi atap. Saya pun menghampiri mobil tersebut dan bertanya kepada supirnya. “kalau di bawah ada apa pak?” Tanya saya kepada supir tersebut. “Ada gajah dan kuda” jawabnya.

Saya pun menaiki mobil pick up tersebut dengan tujuan untuk melihat gajah, binatang khas lampung. Tak lama seorang wanita yang bertugas memberikan karcis pada para penumpang , dengan harga Rp.1000 per penumpang untuk mencapai lokasi gajah tersebut. Setelah itu perlahan mobil mulai bergerak ke arah lembah dengan jalan yang cukup lebar dan turunan yang cukup sedang.

Sekitar 5 menit saya tiba di lokasi, saya turun tepat di pintu masuk dari atraksi gajah tersebut. Ketika saya memasuki lokasi gajah, saya melihat bangku-bangku kosong dibawah sebuah tenda. Tak jauh dari tempat tersebut seorang anak kecil sedang menunggangi gajah yang dipandu oleh pawangnya. Rupanya anak tersebut sudah selesai mengelilingi lokasi tersebut dengan gajah, anak tersebut turun di sebuah tempat yang digunakan untuk menaikan dan menurunkan pengunjung ke punggung gajah.

Saya berjalan menuju jembatan untuk menyeberangi sebuah sungai kecil yang alirannya cukup deras. Saya pun menghampiri lokasi gajah tersebut, disana terdapat 2 ekor gajah, salah satunya sedang dipandu oleh sang pawang di pinggir sebuah sungai sedangkan yang lain berdiri di sebuah kandang yang terbuka dengan kedua kaki terikat oleh rantai. Iba rasanya melihat gajah tersebut dirantai, namun jika tidak begitu mungkin gajah tersebut akan mencelakai pengunjung.

Beberapa orang berkumpul di sebuah tenda payung memperhatikan gajah-gajah tersebut yang salah satunya ada dari kementerian kehutanan. Saya pun bertanya berapa biaya untuk menunggangi gajah. “lima belas ribu saja untuk mengelilingi kawasan ini dengan menunggangi gajah”,jawab salah seorang diantara mereka.

Namun saya memilih untuk mengabadikan momen dengan gajah gajah tersebut, seorang pegawai kementerian kehutanan yang ada disana menawarkan untuk mengambil gambar saya dan keluarga. Saya pun berjalan menghampiri gajah tersebut dan sang pawang memberikan aba-aba kepada gajah tersebut agar mengikuti perintahnya. Sekitar 1 meter dari saya dan keluarga, gajah tersebut berdiri dan mengangkat salah satu kaki depan serta belalainya. “Diam!” teriak sang pawang kepada gajah tersebut. Gajah tersebut pun terdiam sejenak dan momen tersebut pun diabadikan.

Ketika pegawai tersebut mengambil gambar, saya khawatir tiba-tiba gajah tersebut mengamuk. Untung saja disana ada pawang yang akan mengarahkan gajah tersebut sehingga situasi masih bisa dikendalikan. Tak lama gambar saya dan keluarga pun diambil dan disampingnya gajah tersebut berpose dengan manisnya.

Setelah mengabadikan momen dan puas melihat langsung gajah sumatera maka saya dan keluarga pun beranjak mencari mobil yang akan mengantarkan kami ke depan gerbang untuk selanjutnya kembali pulang.

Monday, May 13, 2013

Kedai Kopi Mata Angin : Tempat Berkumpulnya Beragam Komunitas




Suasana khas petualang begitu terasa ketika saya tiba di Kedai Kopi Mata Angin. Sebuah Garasi disamping rumah tua yang disulap menjadi sebuah kafe sederhana. Dengan meja kecil dan kursi kayu khas alam dengan dinding berhiaskan foto-foto petualangan alam. 

Rupanya saya tiba terlalu pagi di acara Seminar Travel Writing pada tanggal 27 April 2013 yang diadakan di tempat ini. Ketika saya masuk seorang wanita muda menyapa saya “Peserta seminar ya?” tanyanya ramah. “Silahkan ditunggu sebentar ya”seraya mempersilahkan. Belakangan baru saya tahu ternyata beliau salah satu pemilik kedai ini yang bernama Teh Uta.

Kedai ini didirikan tahun 2010 yang semula bertempat di jalan bengawan dan baru pada tahun 2013 ini pindah ke jalan laswi no 19 A Bandung. Kedai ini didirikan oleh 3 orang yaitu teh uta, teh emma dan mas awang. Dinamakan mata angin karena ada sebuah sumbu yang tetap dan yang lainnya mengarah ke berbagai arah.  

Pemilik kedai mendirikan kedai ini karena menginginkan sebuah tempat untuk berkumpulnya beragam komunitas yang positif. “selama ini belum pernah ada tempat kumpul untuk beragam komunitas di bandung seperti kedai ini”. Ujar teh uta.

Sebelum memasuki bagian dalam kedai, diatas sebuah dinding dipasang sebuah papan tulis berisikan beragam menu yang ada di kedai ini. Kedai kopi mata angin menyediakan menu yang beragam, mulai dari nasi goreng, spaghetti, pisang goreng, pancake, kopi hingga capucinno.

Dari segi kualitas, menu yang ada di kedai ini tidak main-main, bahkan pemiliknya sendiri yang meraciknya. “Kami mendatangkan kopi-kopi pilihan sehingga kualitasnya terjaga, bahkan pengunjung disini dapat mengetahui perbedaan kopi arabika dan robusta” ujar the uta.

Sebuah papan seperti papan pengumuman beragam acara dipasang di sebuah dinding dan tepat disebelahnya terdapat travel wish list, disinilah para pengunjung menuliskan harapannya untuk berkunjung ke sebuah tempat yang diimpikannya.

Dari papan pengumuman itu pula saya mengetahui bahwa di tempat ini tidak hanya para petualang saja yang berkumpul, namun juga komunitas lainnya. “Disini adalah tempat untuk berkumpulnya beragam komunitas” ujar teh uta.

Mudah saja untuk mencapai kedai ini, saya menaiki taksi dari Bandung Trade Center sekitar 20 menit dengan tarif Rp.22,000.00. Taksi mengarah ke soerapati lalu ke arah selatan menuju jalan riau dan laswi, sekitar 100 meter sebelum perlintasan kereta disitulah kedai ini berada. 

Thursday, April 11, 2013

Secercah Pelangi Di Langit Sawarna




Sabtu malam tanggal 30 Maret 2013 saya tidak bisa tidur karena lokasi tempat saya menginap tepat di sisi jalan yang menghubungkan jalan keluar dan pantai sehingga sampai larut malam masih saja ada pengunjung yang berlalu lalang dan membuat bising. Saya hanya dapat memejamkan mata tanpa terlelap dengan nyenyak. Sekitar pukul 4 pagi rupanya sudah ada para pengunjung yang berangkat ke pantai dan entah apa yang mereka cari, mereka berjalan sembari bersenda gurau.

Tak berselang lama putriku yang cantik bangun dari tidurnya karena suara-suara gaduh di sisi penginapan. Setelah benar-benar sadar putriku meminta keluar dari penginapan dan bermain di beranda. Saya masih mengantuk karena memang tidak nyenyak tidur, namun dipaksakan juga untuk menemaninya bermain. Setelah bosan bermain di beranda, putriku ingin bermain ke luar penginapan dengan bahasa tubuhnya yang merengek. “Setelah subuh kita akan ke pantai, sabar ya cantik.” Jawabku singkat.

Selepas shalat subuh kami pun berjalan menuju pantai dengan membawa bekal makanan dan air minum. Rencananya kami akan menuju Tanjung Layar yang jaraknya hanya sekitar 700 meter dari pantai ciantir ini.  Bongkahan karang yang berbentuk layar sendiri memang terlihat dari pantai ciantir. Rupanya di pantai masih sepi, beberapa pengunjung terlihat masih terlelap di saung-saung yang terletak di tepi pantai.

Kami berjalan ke arah timur menelusuri sisi pantai dengan menggunakan sandal tracking, menjejakkan langkah-langkah kami ke dalam pasir putih nan lembut. Suara gemuruh ombak menemani langkah-langkah kami dan rembulan di langit sana menjadi cahaya dalam perjalanan kami menuju tanjung layar. Sekitar pukul 5.30 pagi kami beristirahat sejenak di tepi pantai ciantir sambil menikmati rembulan dan mengkonsumsi perbekalan kami.

Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan kami. Kali ini kami tidak menelusuri sisi pantai namun menuju jalan setapak di daratan di tepi pantai karena setelah kami menapaki pasir yang lembut kami menemukan karang-karang yang sulit untuk dilalui. Rupanya jalan setapak yang dilalui tidak mulus karena ada beberapa genangang lumpur sehingga kami harus melipir ke  tempat kering yang aman dilalui.

Dalam perjalanan tersebut kami melewati sebuah saung dan tenda, rupanya salah satu kelompok pecinta alam sedang camping disana, di tepi pantai tidak jauh dari tanjung layar. Tak lama beberapa saung yang menjual berbagai makanan kami temui dan tak jauh dari sana terletak pantai tanjung layar. Langit mulai terang, matahari masih belum muncul tertutup sebuah bukit di sisi timur.

Sekitar pukul 6 pagi kami tiba di pantai tanjung layar dan putriku masih terlelap dalam pelukan ayahnya. Pantai tanjung layar sedang surut sehingga karang-karang di dasar pantai terlihat jelas dengan bentuknya yang kasar dan sekitar 50 meter dari bibir pantai bongkahan karang yang berbentuk layar kapal berdiri dengan lembut menunjukkan pesonanya di pagi itu.

Saya terduduk di tepi pantai dan zahra masih terlelap di dada saya, kaki pun saya luruskan sambil menikmati pesona tanjung layar. Rupanya pasir pantai di Tanjung Layar lebih kasar jika dibandingkan pantai ciantir.

Sekitar pukul 6 lebih sudah banyak pengunjung yang datang, mereka berjalan menjejakkan kakinya di atas karang yang menghubungkan tepi pantai dengan tanjung layar. Di beberapa bagian terdapat genangan air laut yang terjebak di cekungan dangkal ketika laut surut. Saya pun tergoda untuk berjalan diatas karang-karang tadi mendekati bongkahan karang yang berbentuk layar.
Saya berjalan menuju karang yang berbentuk layar tadi melalui beberapa genangan air laut, rupanya air laut sudah mulai pasang namun masih sebatas betis bagian bawah. Beberapa hewan laut terjebak di genangan dan saya bisa melihat beberapa ikan kecil yang ada disana. Seorang pengunjung pun mengabadikannya.

Saya berjalan ke balik bongkahan karang yang berbentuk layar tadi, rupanya ada sebuah pemecah ombak alami yang berjarak sekitar 50 meter. Dari bongkahan karang dan hal tersebut mencegah bongkahan karang tadi dari abrasi pantai sehingga bisa bertahan hingga saat ini. Berbeda dengan dasar pantai di arah utara yang dasarnya kasar dan bergelombang dengan bentuk karangnya maka di sebelah selatan dasar batuan karangnya lebih datar dan banyak sekali kulit kerang yang terjebak di atas karang dan menyatu dengan batu karang yang saya tapaki. Mungkin sudah ribuan tahun sehingga bisa menyatu dengan batuan tadi.

Banyak para pengunjung berkumpul di sisi timur yang merupakan batas akhir pemecah ombak alami, mereka mengabadikan gelombang ombak yang menyerang batu karang. Ketika menelusuri pemecah ombak alami ini, tak jarang ketika ombak besar maka para pengunjung kebasahan terkena semburan ombak yang tumpah melewati barrier tadi.

Setelah puas mengelilingi bongkahan karang yang berbentuk layar tadi, maka saya kembali ke tepi pantai dan air laut sudah mulai pasang sekitar pukul 6.45 pagi. Rupanya putriku sudah bangun dan mulai bermain di tepi pantai ditemani sang bunda. Ternyata putriku sudah mulai berani berenang di pantai, ketinggiannya di beberapa titik masih dangkal karena perbedaan ketinggian karang.

Sebuah hal yang paling mengejutkan dari fenomena yang ada di tanjung layar, semburat pelangi di tengah laut di atas langit sawarna pun muncul. Sebelumnya saya tidak menyadarinya hingga salah seorang pengunjung berkata “Wuih ada pelangi di tengah laut, keren!” ungkapnya. Saya pun mengarahkan pandangan ke tengah lautan, tempat dimana pelangi tersebut timbul.

Pelangi tersebut tidak sempurna hanya terlihat beberapa campuran warna merah, kuning, hijau dan biru yang berbentuk diagonal dan bagian atasnya tertutup awan kelabu. Rupanya ditengah laut hujan baru saja reda dan terbentuklah pelangi. Para pengunjung pun mengabadikan fenomena tersebut dan setelah puas mengamati pelangi tak lama kami pun bergegas kembali ke penginapan untuk beristirahat sejenak dan kembali pulang.



Wednesday, April 10, 2013

Sawarna, surga tersembunyi di selatan Banten



Suara deburan ombak yang besar menggoda kami ketika kami tiba di pantai pasir putih Desa Sawarna 30 Maret 2013 lalu. Awan yang mulai berwarna kelabu di sore tersebut tidak menyurutkan kami untuk bermain di tepi pantai. Rupanya perjalanan 6 jam dari kota cilegon terbayar dengan keindahan pantai pasir putih yang lembut. Suara deburan ombak, pasir putih yang lembut dan keindahan perbukitan yang menghiasi pantai yang membentang di sisi barat dan sisi timur pantai merupakan suguhan tersendiri bagi para penikmat pantai.

Saya tidak pernah menyangka akan melewati hutan yang begitu lebat dengan pepohonan yang tinggi serta jalan yang berkelok dan memiliki tanjakan yang curam. Ternyata dibalik hutan-hutan tersebut sebuah pemandangan yang indah hadir dan sungguh sawarna merupakan surga tersembunyi di selatan banten.

Saya bersama istri dan putri saya pun bermain di tepi pantai dan sesekali duduk menikmati pemandangan laut biru yang terhampar. Di bibir pantai yang ramai dengan para pengunjung banyak yang menceburkan dirinya ke laut dan bermain-main disana. Sedangkan saya dan istri cukup duduk-duduk menikmati keindahan pantai dan sesekali mengabadikan momen bersama. Sedangkan putri kecilku berjalan-jalan kesana kemari diliputi suasana berbeda di tepi pantai.

Sebelum mencapai pantai ini, kami  harus melewati jembatan gantung yang membentang di atas sungai sawarna. Lebar jembatan tersebut sekitar 1,5 meter dengan panjang sekitar 60 meter. Jembatan yang merupakan cirri khas dari sawarna ketika wisatawan berkunjung ke pantai sawarna. Beberapa pengunjung terlihat ketakutan ketika menyeberangi jembatan ini. Sedangkan putri saya bergembira karena dibuat bergoyang-goyang diatas jembatan tersebut.

Disisi barat pantai pasir putih beberapa perahu nelayan terdiam dengan lembut di atas pasir putih. Rupanya para nelayan tak melaut karena ombak yang cukup tinggi sehingga cukup berbahaya jika digunakan untuk melaut. Hal itu pun saya ketahui dari salah satu penduduk disana yang membuka usaha warung makan. “Pesanan ikan tidak ada karena semalam nelayan tak melaut karena ombak yang tinggi”ujarnya.

Rupanya pantai pasir putih adalah sebutan yang lazim diberikan oleh para pengunjung pantai ini, sedangkan nama sebenarnya dari pantai ini adalah pantai ciantir. “Para pengunjung biasa menyebut pantai ini dengan pantai pasir putih sedangkan penduduk disini mengenal pantai ini dengan pantai ciantir” ujar salah satu penduduk. Pantai ciantir yang merupakan sebuah teluk ini memang berpasir putih yang lembut dan terhampar luas jadilah para pengunjung menamakannya pantai pasir putih.

Pantai Sawarna terletak di Desa Sawarna Kecamatan Bayah Lebak Banten. Pantai ini bisa dicapai dengan melalui 2 rute dengan menggunakan kendaraan pribadi dari kota cilegon. Rute pertama, dari cilegon menuju serang lalu mengarah pandeglang dan mengambil jalur saketi-labuan selanjutnya mengambil arah ke malimping dan menuju bayah. Rute kedua, dari kota cilegon menuju serang lalu mengarah ke pandeglang melewati cikulur menuju gunung kencana mengambil arah ke malimping dan bayah.

Dengan perjalanan yang cukup jauh maka warga disini menyediakan home stay atau tempat bermalam. Biasanya harga untuk menginap semalam berkisar Rp.100,000,- namun karena long week end biasanya para pengelola menaikkan harganya menjadi Rp.170,000,- per orang termasuk makan 3 kali. Sedangkan kami menginap di sebuah kamar dengan berbagi kamar mandi seharga Rp.300,000,- tanpa makan. Rupanya hukum mekanisme pasar berlaku juga disini, semakin banyak permintaan maka harga semakin meningkat dan kami terpaksa menerimanya.

Sore hari di tepi pantai ciantir ditutup dengan hujan yang cukup lebat dan kami pun berlari menjauh dari pantai menuju sebuah saung yang menjual makanan dan minuman. Sambil menunggu hujan reda saya memesan segelas capucino dan sebuah pop mie untuk istri dan putriku. Setelah hujan mulai reda maka kami pun beranjak ke penginapan untuk beristirahat.

Wednesday, February 13, 2013

Berburu Angle di Writing Day Rumah Dunia


Minggu 13 Januari 2013, peserta Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) angkatan 20 dan 21 melaksanakan kegiatan Writing Day di Rumah Tukik, Kampung Jambangan, Kelurahan Bandulu, Kecamatan Anyer Serang-Banten. Menurut Jack Alawi selaku ketua panitia, tujuan diadakannya kegiatan Writing Day adalah mencari angle yang beragam untuk tulisan. 

Peserta Writing Day kali ini berjumlah 60 orang. Pada kegiatan ini peserta kelas menulis dibagi 4 kelompok dan menyebar untuk mencari angle penulisan. Setiap kelompok diberikan satu mentor dari relawan.

Sebelum peserta dibagi empat kelompok, terlebih dahulu diberikan materi Travel Writer oleh Gol A Gong, tutor KMRD. Menurutnya saat ini orang dapat dengan mudah mengunjungi berbagai tempat dengan tiket murah dan mempublishnya di media social. “Namun agar sebuah tulisan perjalanan dapat dimuat di media maka harus mencari angle yang tepat” sambung Gol A Gong. “ Jadi bukan hanya melihat tapi menemukan angle”.

Setelah peserta kelas menulis menyebar mencari angle penulisan maka dilakukan evaluasi. Selanjutnya para peserta menuliskannya di rumah nanti.

Tidak hanya mencari angle penulisan, kegiatan Writing Day juga diisi oleh acara games yang dipandu oleh Koelit Ketjil, relawan RD. Salah satu games yang menarik adalah mengenai sumber informasi. Bagaimana para peserta diminta memberikan sebuah benda berisi sebuah informasi dan peserta tersebut diminta menyampaikan ke peserta lain setelah mendapatkan informasi dari sumber informasi pertama.

Evy Herniawaty mengakui bahwa kegiatan ini sangat penting untuk menambah kemampuannya dalam menulis. “Writing Day penting diadakan karena materinya membantu dalam penulisan.” Tutur Evy, salah satu peserta KMRD angkatan 21 yang juga mahasiswa UPI Serang itu. (*)

Saturday, January 26, 2013

Rumah Tukik, TBM di Tepi Pantai Anyer

Suara deburan ombak yang bergemuruh menyambut kami ketika kami datang di Pantai Anyer, minggu, 13 januari 2013 yang lalu. Langit kelabu menggelayut manja masih menampakkan diri setelah menjatuhkan butiran-butiran air hujan. Semilir angin membawa kesejukan bagi para pengunjung Pantai Anyer ini.

Biasanya pantai identik dengan kawasan wisata dengan tempat berbelanja, penginapan dan restaurant yang menemaninya. Tetapi di Pantai Anyer ada sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan pantai lainnya, yaitu Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Rumah Tukik, yang berjarak sekitar 300 meter dari bibir pantai.

Awalnya kami sempat melewati TBM ini. Setelah memutar balik kendaraan maka kami memasuki sebuah resort persis ditepi pantai. Di Seberang resort inilah TBM Rumah Tukik berdiri, hanya dipisahkan oleh Jalan Raya Anyer, lalu berjalan sekitar 100 meter maka bangunan rumah berdiri disana. Disamping bangunan tersebut ada sebuah bangunan serbaguna yang terbuat dari rangkaian kayu jati beratapkan ijuk. Dibelakang bangunan ini terdapat bekas ladang dan kebun membuat Rumah Tukik semakin asri.

TBM Rumah Tukik terletak di kampung jambangan, Desa Bandulu, Kecamatan Anyer, Serang, Banten. TBM ini berdiri sejak 10 Agustus 2008 yang didirikan oleh Ibu Yoet Suharya, pengusaha batubara di Kalimantan. “Tujuan dibangunnya, adalah untuk merangsang anak-anak di Kampung Jambangan agar gemar membaca.” Tutur Setiana Solehah, Bendahara TBM.

Beragam kegiatan untuk anak-anak Kampung Jambangan yang diselenggarakan oleh TBM antara lain belajar komputer, membuat kerajinan tangan yang terbuat dari bunga dan pohon, latihan angklung, drama dan band. Dari hasil kerajinan tangan yang dibuat oleh anak-anak, sebagian ada yang diperjual belikan.
Ketika saya datang di TBM ini bersama Jack Alawi(relawan Rumah Dunia), dan Evi (peserta kelas menulis). Didalam sebuah ruangan terdapat 3 orang anak sedang belajar mengetik sebuah buku cerita ringan dengan menggunakan Microsoft Word. Sedangkan teman-teman lainnya menunggu giliran untuk belajar mengetik dengan menonton teman lainnya sebagian lainnya bersenda gurau.

TBM ternyata tak melulu identik dengan buku, di Rumah Tukik ini saya menemukan ada sebuah ruangan yang dijadikan studio band. Studio ini biasanya digunakan oleh para remaja desa jambangan untuk menyalurkan bakatnya di bidang musik. Selain studio band, hal lain yang berhubungan dengan musik adalah angklung. Alat music tradisional sunda ini memang disukai oleh Ibu Yoet karena pengaruh dari sang suami yang memang berasal dari bandung.

Rumah Tukik ini ramai dikunjungi anak-anak Kampung Jambangan pada hari Sabtu dan Minggu. Biasanya mereka datang sejak pukul 10 pagi sampai dengan pukul 4 sore. Selain dikunjungi oleh anak-anak Kampung Jambangan, Rumah Tukik juga dikunjungi oleh anak-anak di luar Desa Jambangan. TBM Rumah Tukik ke depan akan mengadakan program perpusatakaan keliling yang diadakan satu kali dalam seminggu pada bulan maret mendatang.

Untuk mencapai TBM ini dengan kendaraan pribadi bisa melalui 4 jalur menuju anyer. Pertama, keluar di pintu tol Cilegon Barat melewati Kota Cilegon lalu ke arah Ciwandan-Anyer. Saat ini jalanan di jalur ini sudah cukup baik karena sudah dibeton dan pemandangannya hanya berupa daerah industry dan pemukiman. Jalur kedua, bisa keluar di pintu tol serang timur lalu melewati jalur utama menuju Cilegon, di persimpangan kepandean mengambil arah brimob lalu menuju Taktakan, Mancak, Gunung Sari. Berbeda dengan jalur pertama dijalur ini akan disuguhi pemandangan alam yang memukau memanjakan mata dengan bukit-bukit yang indah ataupun pemandangan alam lainnya. Yang ketiga dari arah Ciomas lalu ke Cinangka. Dan yang keempar dari arah Labuan, Pandeglang.