Saturday, January 26, 2013

Rumah Tukik, TBM di Tepi Pantai Anyer

Suara deburan ombak yang bergemuruh menyambut kami ketika kami datang di Pantai Anyer, minggu, 13 januari 2013 yang lalu. Langit kelabu menggelayut manja masih menampakkan diri setelah menjatuhkan butiran-butiran air hujan. Semilir angin membawa kesejukan bagi para pengunjung Pantai Anyer ini.

Biasanya pantai identik dengan kawasan wisata dengan tempat berbelanja, penginapan dan restaurant yang menemaninya. Tetapi di Pantai Anyer ada sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan pantai lainnya, yaitu Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Rumah Tukik, yang berjarak sekitar 300 meter dari bibir pantai.

Awalnya kami sempat melewati TBM ini. Setelah memutar balik kendaraan maka kami memasuki sebuah resort persis ditepi pantai. Di Seberang resort inilah TBM Rumah Tukik berdiri, hanya dipisahkan oleh Jalan Raya Anyer, lalu berjalan sekitar 100 meter maka bangunan rumah berdiri disana. Disamping bangunan tersebut ada sebuah bangunan serbaguna yang terbuat dari rangkaian kayu jati beratapkan ijuk. Dibelakang bangunan ini terdapat bekas ladang dan kebun membuat Rumah Tukik semakin asri.

TBM Rumah Tukik terletak di kampung jambangan, Desa Bandulu, Kecamatan Anyer, Serang, Banten. TBM ini berdiri sejak 10 Agustus 2008 yang didirikan oleh Ibu Yoet Suharya, pengusaha batubara di Kalimantan. “Tujuan dibangunnya, adalah untuk merangsang anak-anak di Kampung Jambangan agar gemar membaca.” Tutur Setiana Solehah, Bendahara TBM.

Beragam kegiatan untuk anak-anak Kampung Jambangan yang diselenggarakan oleh TBM antara lain belajar komputer, membuat kerajinan tangan yang terbuat dari bunga dan pohon, latihan angklung, drama dan band. Dari hasil kerajinan tangan yang dibuat oleh anak-anak, sebagian ada yang diperjual belikan.
Ketika saya datang di TBM ini bersama Jack Alawi(relawan Rumah Dunia), dan Evi (peserta kelas menulis). Didalam sebuah ruangan terdapat 3 orang anak sedang belajar mengetik sebuah buku cerita ringan dengan menggunakan Microsoft Word. Sedangkan teman-teman lainnya menunggu giliran untuk belajar mengetik dengan menonton teman lainnya sebagian lainnya bersenda gurau.

TBM ternyata tak melulu identik dengan buku, di Rumah Tukik ini saya menemukan ada sebuah ruangan yang dijadikan studio band. Studio ini biasanya digunakan oleh para remaja desa jambangan untuk menyalurkan bakatnya di bidang musik. Selain studio band, hal lain yang berhubungan dengan musik adalah angklung. Alat music tradisional sunda ini memang disukai oleh Ibu Yoet karena pengaruh dari sang suami yang memang berasal dari bandung.

Rumah Tukik ini ramai dikunjungi anak-anak Kampung Jambangan pada hari Sabtu dan Minggu. Biasanya mereka datang sejak pukul 10 pagi sampai dengan pukul 4 sore. Selain dikunjungi oleh anak-anak Kampung Jambangan, Rumah Tukik juga dikunjungi oleh anak-anak di luar Desa Jambangan. TBM Rumah Tukik ke depan akan mengadakan program perpusatakaan keliling yang diadakan satu kali dalam seminggu pada bulan maret mendatang.

Untuk mencapai TBM ini dengan kendaraan pribadi bisa melalui 4 jalur menuju anyer. Pertama, keluar di pintu tol Cilegon Barat melewati Kota Cilegon lalu ke arah Ciwandan-Anyer. Saat ini jalanan di jalur ini sudah cukup baik karena sudah dibeton dan pemandangannya hanya berupa daerah industry dan pemukiman. Jalur kedua, bisa keluar di pintu tol serang timur lalu melewati jalur utama menuju Cilegon, di persimpangan kepandean mengambil arah brimob lalu menuju Taktakan, Mancak, Gunung Sari. Berbeda dengan jalur pertama dijalur ini akan disuguhi pemandangan alam yang memukau memanjakan mata dengan bukit-bukit yang indah ataupun pemandangan alam lainnya. Yang ketiga dari arah Ciomas lalu ke Cinangka. Dan yang keempar dari arah Labuan, Pandeglang.

Saturday, January 12, 2013

Batik Lawasan di Kampung Batik Laweyan



Solo memang dikenal sebagai kota penghasil batik terbesar di Indonesia. Salah satu lokasi penghasil batik di kota Solo adalah di Kampung batik laweyan. Kampung ini selain terkenal sebagai tempat pengrajin batik sekaligus juga merupakan tempat pemasaran dengan deretan toko di depan rumah pengusaha batiknya. Rumah di kampung ini besar-besar dengan tembok yang tinggi dan jalan-jalannya dapat dilalui mobil. Saya berkesempatan mengunjungi kampung batik laweyan pada tanggal 4 Desember 2012 lalu.

Kampung batik laweyan terletak di jalan dr. Radjiman yang berada di sebelah selatan kota Solo. Cukup mudah untuk mencapai kampung batik laweyan ini, yaitu dengan menaiki becak dari stasiun purwosari dengan tariff hanya Rp.10,000 saja. Saya sendiri karena menginap di hotel Tiara Puspita yang berada di pertigaan Baron dan di Jalan dr. Radjiman, maka saya hanya cukup menaiki becak di depan hotel dengan tariff Rp.10,000.

Dari perjalanan saya ke Solo saya menyimpulkan bahwa sebenarnya proses pembuatan sebuah batik yang saya ketahui ada 4 cara. Pertama adalah batik tulis yang langsung dilukiskan pada sebuah kain dengan menggunakan canting. Kedua adalah batik cap yang prosesnya dengan melakukan pengecapan pada kain dengan sebuah alat berupa besi yang memiliki pola dan motif batik. Ketiga adalah kombinasi pembuatan batik dengan cara tulis dan cap. Sedangkan yang terakhir adalah batik cetak atau printing yang menggunakan mesin. 

Jenis batik yang diproduksi oleh pengrajin di kampung laweyan ini pun beragam, mulai dari batik dengan motif kontemporer sampai dengan motif lawas. Untuk motif kontemporer biasanya menggunakan warna-warna cerah tegas. Sedangkan batik lawasan lebih menggunakan warna-warna coklat pudar. Lawasan sendiri berasal dari bahasa jawa yaitu ‘lawas’ yang artinya lama, lebih tepatnya kain lama yang sudah tidak terpakai lagi. Kain ini akan di daur ulang menjadi pakaian model tertentu atau tas dan aksesoris lain.

Ketika saya berkeliling di kampung laweyan, motif kontemporer mendominasi jenis batik yang ada di kampung ini. Namun untuk motif lawasan, saya hanya menemui satu pengrajin batik lawasan yang lokasinya berada di sebelah selatan kampung ini. Nama pengrajinnya adalah Bapak Haji Cholil Muchtar yang memproduksi dan menjual Batik Lawasan dan Perca Batik. Lokasinya terletak di Jalan Tiga Negeri No. 10 (lama)/19(baru) Laweyan Solo. Memang menurut informasi di Joglosemar, peminat batik lawasan sendiri menurun dan kini hanya kolektor saja yang mencari batik ini.

Di tempat batik lawasan ini terdapat berbagai macam batik dengan motif lawas. Tidak hanya motifnya saja yang lawas, namun kainnya pun terlihat lawas bahkan usang. Menurut pemiliknya batik lawasan ini pada masa lalu di ekspor ke berbagai Negara, namun sejak krisis ekonomi melanda maka kegiatan ekspor pun menurun. Saya pun membeli sebuah pakaian batik lawasan untuk dijadikan buah tangan untuk keluarga tercinta.

Saturday, January 5, 2013

Kesejukan Istana Air Taman Sari Yogyakarta


Gapura Panggung di Sisi Timur Taman Sari

Saya sudah cukup sering mendengar informasi mengenai Situs Cagar Budaya Taman Sari di Yogyakarta. Melihat foto-fotonya dari album seorang teman, membuat saya tertarik untuk mengunjunginya. Sehingga ketika saya memiliki kesempatan untuk berwisata di Yogyakarta maka saya mengagendakan untuk mengunjungi situs tersebut.

Taman Sari merupakan situs bekas taman atau kebun istana yang dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono I yaitu pada tahun 1758-1765/9. Kebun istana ini merupakan sebuah kompleks yang terdiri dari beberapa bagian bangunan. Dan yang masih tersisa sampai dengan saat ini ada dua bagian yaitu Bagian pertama merupakan danau buatan yang disebut “segaran” serta bangunan yang ada di tengahnya berupa pulo kenongo, pulo cemethi dan sumur gumuling. Bagian kedua berupa Gedhong Gapura Agung, Gedhong Lopak-lopak, Umbul pasiraman atau Umbul binangun, Gedhong Sekawan, Gedhong Gapura Panggung, dan Gedhong Temanten. 

Pada awalnya saya bersama istri dan anak saya sudah keluar dari penginapan sekitar pukul 6.30 pagi, berjalan menuju pasar beringharjo. Di pasar tersebut seorang tukang becak menawari saya untuk berkeliling di sekitar kraton ke tempat oleh-oleh batik, kaos dagadu dan bakpia hanya dengan tariff Rp.5000 rupiah saja. Saya pun menerima tawarannya karena memang hari senin 3 Desember 2012 merupakan hari terakhir saya berwisata di kota Yogyakarta. 

Saya pun mengutarakan niat saya kepada tukang becak tersebut untuk mengunjungi Taman Sari, namun tukang becak tersebut menginformasikan bahwa Taman Sari baru dibuka sekitar pukul 9 pagi. Setelah berkeliling di sekitar keraton melewati kauman, kampung ngasem menuju jalan sidomukti Rotowijayan dan kembali ke pasar beringharjo ternyata waktu belum menunjukkan pukul 9 pagi. Akhirnya kami pun kembali ke penginapan sekitar pukul 8.30 pagi. Beristirahat sejenak dan sarapan dengan nasi pecel yang dibeli di pasar beringharjo.

Setelah beristirahat sejenak dan packing untuk meneruskan perjalanan ke solo, maka sekitar pukul 10 kurang kami beranjak menuju taman sari. Untuk menuju Taman Sari dari Sosrowijayan bisa langsung naik Trans Jogja dengan tariff Rp.3000 dan turun di halte malioboro 3, dilanjutkan dengan menaiki becak dengan tariff Rp.10,000 menuju Taman sari. Kami pun diantarkan oleh tukang becak ke pasar burung ngasem. Pada awalnya saya sempat heran kenapa saya diturunkan disini, bukan di gerbang utama. Tukang becak tersebut menunjukkan bahwa Taman Sari ada di belakang bangunan itu, sambil menunjuk bangunan tinggi yang sudah runtuh yang tersisa hanya dinding yang sudah lapuk.

Kami pun berjalan memasuki sebuah gapura yang melengkung dengan dihiasi sebuah lampu berornamen klasik di kedua sisinya. Sebelum memasuki gapura tersebut disisi sebelah kanan saya merupakan pasar ngasem dan setelah memasuki gapura di sisi kiri seperti tempat beristirahat dan tepat di hadapan gapura ada sebuah panggung yang terbuat dari batu-batu alam persegi. 

Kami pun menelusuri jalan menuju bangunan tinggi tersebut dan saya sempat terheran-heran karena melewati rumah penduduk. Setelah berbelok ada sebuah jalan menanjak yang menjadi gerbang masuk pengunjung ke bangunan tinggi tersebut. gerbang tersebut berbentuk persegi dengan hiasan relief tanaman setengah lingkaran diatas gerbang. Setelah memasuki gerbang tersebut ada 2 buah plang, yang pertama mengenai Cagar Budaya Situs Pesanggrahan Taman Sari dan yang kedua berupa Bangunan Cagar Budaya Pulau Cemeti Taman Sari. Rupanya bangunan tinggi yang terlihat dari pasar ngasem adalah Pulau Cemeti.

Disisi bangunan masih bisa dijumpai sisa-sisa reruntuhan bangunan pulau cemeti. Bangunan tersebut seperti tidak terawat, dindingnya kusam dan berlumut. Atap bangunannya runtuh karena termakan usia dan menurut sumber yang lain menyebutkan runtuh karena gempa. Ketika saya tiba ada beberapa pasangan yang berada di sana menikmati sunyinya bangunan. 

Saya berjalan menuju ke arah selatan dan melewati gerbang yang sama seperti saya masuk ke pulau cemeti hanya bedanya ada beberapa gerbang. Saya menuruni beberapa anak tangga dan berjalan masuk ke sebuah pintu yang didalamnya ternyata adalah sebuah terowongan yang menurut sebuah sumber, terowongan ini dahulunya  berada di bawah permukaan air yang menghubungkan pulau cemeti dengan gapura panggung dan pesanggrahan taman sari.

Kami pun berjalan menuju gerbang utama yaitu gapura panggung untuk memasuki pemandian Taman Sari yang biasa disebut umbul binangun. Gapura Panggung yang berada di sebelah timur bentuknya memukau dengan arsitektur dan ornament asli jawa dan dihiasi 2 buah patung naga di sisi gerbangnya.

Kami memasuki gapura panggung tersebut dan setelah membeli tiket seharga Rp.3000 untuk wisawatan domestic, maka kami pun masuk ke dalam taman sari. Setelah keluar dari gapura panggung sebuah jalan yang dibentuk oleh batuan alam persegi yang disusun dengan pola teratur menghubungkan gapura panggung dengan sebuah gerbang menuju umbul binangun. Di tepi jalan tersebut dihiasi beberapa buah pot yang tinggi dan besar, di dalam pot tersebut tertanam sebuah pohon berukuran sedang seakan menggiring pengunjung menuju umbul binangun. 

Selain dihiasi pot berisi pohon berukuran sedang ada 4 buah bangunan yang merupakan gedong sekawan. Bangunan ini memiliki kesamaan bentuk dan ukuran dan diletakkan dihalaman persegi delapan.  Ke empat bangunan tadi pada masa lalu digunakan untuk tempat peristirahatan para istri dan keluarga sultan.

Saya pun berjalan melewati gedong sekawan dan memasuki gerbang menuju umbul binangun. Gerbangnya berbentuk seperti rumah yang di atas pintu masuknya dihiasi oleh ornament jawa klasik dengan unsur cinanya. Sebelum memasuki pintu tersebut lalu saya pun dapat melihat dibawah sana umbul binangun dengan dasar berwarna biru terlihat mempesona. 

Umbul binangun menggoda saya untuk turun dan merasakan kesejukan airnya. Saya pun berjalan menuruni puluhan anak tangga dan saya terhenti tepat di bagian bawah anak tangga. Dari situ umbul binangun pun terlihat sempurna dengan dikelilingi tembok tinggi. Di beberapa bagian kolam terdapat air yang memancar dari sebuah ornament berbentuk jamur dengan sculpture teratai yang memperindah umbul binangun. Sedangkan di beberapa titik di sisi kolam terdapat pot bunga besar yang mempercantik pemandian taman sari.

Di seberang saya berdiri ada sebuah pintu gerbang yang menghubungkan dengan gapura agung. Di sebelah selatan ada sebuah menara yang bisa melihat umbul binangun secara keseluruhan. Konon dari menara tersebut sultan memilih  salah satu selir atau istrinya. Dibalik menara tersebut ada sebuah kolam yang digunakan khusus untuk pemandian sultan dan permaisurinya saja. Umbul binangun terletak di bagian tengah dan di apit oleh menara dan sebuah kolam dengan ukuran lebih kecil yang disebut umbul muncar.

Setelah berkeliling di tiga kolam pemandian tersebut, maka saya pun beranjak menaiki tangga menuju gerbang gapura agung. Setelah menaiki tangga, sebuah halaman luas menyambut dengan bagian tengah berbentuk persegi delapan dan tepat di seberang pintu terdapat gapura agung dengan bentuk yang memukau. Gapura ini berukuran lebih besar dibanding gapura panggung, bentuknya seperti gunung dengan sisi-sisinya yang berundak dihiasi relief burung dan bunga-bungaan serta ornament klasik memperanggun rupa gapura.

Di sisi sebelah utara ada sebuah rumah di teras rumah tersebut ada pria paruh baya yang sedang mengerjakan wayang kulit. Mengukir sebuah kulit yang sudah berbentuk wayang diatas sebuah talenan berbentuk bundar. Tidak jauh dari pria tadi, seorang wanita yang berusia sekitar 30an tahun sedang menggoreskan canting pada sebuah kain. Rupanya wanita tersebut sedang membuat batik tulis yang berukuran 2x1 meter dan jika dijual bisa berkisar Rp.1,500,000.00. Prosesnya yang rumit dan motif yang menarik membuat harga batik tulis tidak murah.

Taman Sari pada masa lalu merupakan sebuah taman megah dengan pulau buatan di tengahnya yang bisa digunakan untuk pertahanan ataupun peristirahatan yang dihubungkan sebuah terowongan bahwa air. Saat ini air yang dulu menggenangi berganti dengan rumah penduduk ataupun wilayah daratan lainnya. Air di Taman Sari hanya terdapat di kolam pemandian yang memberikan kesejukan dan kesegaran bagi para pengunjungnya.

Begitulah sekelumit catatan perjalanan saya mengunjungi Taman Sari yang merupakan destinasi terakhir saya di Yogyakarta. Sayang saya tidak mengunjungi sumur gumuling yang terkenal, namun Objek di taman sari yang saya kunjungi sudah memberikan kepuasan tersendiri terhadap rasa keingintahuan saya. Saya pun kembali ke penginapan dan langsung melanjutkan perjalanan ke solo yang berjuluk jiwa dari jawa dengan menggunakan kereta prameks dari stasiun tugu.

Umbul Binangun dengan latar menara


Gapura Agung di sisi Barat Taman Sari