Monday, November 4, 2013

Pulau Kemaro dan Kisah Cinta Putri Sriwijaya


Perahu ketek yang saya tumpangi bersama dua rekan saya sesekali bergoyang keras ketika terhempas oleh gelombang sungai musi. Rinai-rinai hujan yang semakin lebat menambah suramnya perjalanan saya ke pulau kemaro. Namun keinginan saya yang besar tidak menyurutkan semangat saya untuk bisa berlabuh di pulau kemaro.
Suara bising mesin di perahu ketek menemani perjalanan kami, perlahan perahu menjauh dari dermaga dan mulai berjalan ke arah hilir. Sesekali perahu kami disusul oleh perahu boat, yang bermesin layaknya kapal boat. Perahu ketek yang kami tumpangi pun berjalan menjauhi jembatan ampera.
Awalnya hujan yang turun pada saat saya berada di tepian sungai musi hanya rintik-rintik saja. Namun ketika saya mulai menaiki perahu ketek dan berada di awal perjalanan menuju pulau kemaro tiba-tiba saja hujan turun semakin lebat. Pak yusuf yang mengendalikan ketek meminta kami untuk memakai pelampung “pakai saja de pelampungnya!” ujarnya.
Saya bersama dua teman saya pun menelusuri sungai musi menuju pulau kemaro dengan perahu ketek pak yusuf, setelah sebelumnya tawar menawar harga akhirnya disepakati bahwa satu orang akan dikenakan biaya Rp.30,000 untuk perjalanan pulang pergi dari jembatan ampera ke pulau kemaro.
Menelusuri sungai musi dibawah bayang-bayang hujan yang cukup lebat merupakan pengalaman pertama yang saya alami. Sesekali goncangan terhadap perahu begitu kencang membuat jantung berdebar khawatir perahu berbalik, namun saya bisa sedikit lebih tenang karena saya bisa berenang. Untunglah pula saya membawa payung dan jaket tebal saya kenakan agar hujan tidak membuat saya kuyup. Meskipun perahu ketek ini beratap namun angin membawa hujan dari sisi-sisi perahu sehingga membuat pakaian yang saya kenakan sedikit basah.
Setelah berjalan sekitar 20 menit, dari kejauhan sudah terlihat pagoda yang menjulang berada di tengah-tengah pulau kemaro. “itu pulau kemaro” teriak salah seorang teman sambil menunjuk ke arah pulau tersebut. Intensitas hujan sudah mulai berkurang ketika kami tiba di tepi dermaga pulau kemaro namun hujan rintik-rintik masih menemani.
Sebuah gapura berwarna merah dengan hiasan dua buah naga di puncaknya menyambut kami ketika tiba di pulau kemaro. Setelah berjalan masuk, rupanya sudah ada beberapa pedagang minuman dan makanan di sisi kanan dan kiri jalan dengan menempati tenda sederhana.
Jalan yang sudah diplester mengarahkan kami menuju pagoda yang merupakan daya tarik utama pulau kemaro. Sebelum menuju pagoda di sebelah kanan saya berjalan ada sebuah klenteng, inilah klenteng Soei Goeat Kiong yang dibelakang klenteng ini terdapat makam siti Fatimah dan Tan boen an.
Setelah melewati klenteng dari kejauhan terlihat kemegahan bangunan pagoda berlantai Sembilan dengan harmonisasi warna biru, kuning dan merah khas cina. Ketika saya tiba di dekat pagoda tersebut rupanya sudah ada sekelompok wisatawan lain yang berada disana yang sedang mengabadikan momen.  
Pagoda yang dibangun tahun 2006 ini terasa megah dengan tingginya yang menjulang yang berada di tengah pulau kemaro. Di antara pintu masuk menuju lantai dua ada 2 buah patung  singa dan di sisi tangganya dihiasi oleh patung naga yang seolah sedang bergerak turun.
Tak jauh dari pagoda tersebut ada sebuah patung budha yang berdiri dengan tangan kanan memegang uang emas sedangkan tangan kirinya menggenggam sejenis tasbih. Pulau kemaro ditumbuhi pohon yang tinggi menjulang menambah kesejukan pulau tersebut.
Di pulau kemaro juga terdapat sebuah batu nisan yang mengisahkan legenda asal muasal terbentuknya pulau kemaro. Cerita bermula ketika seorang pemuda Tiongkok bernama Tan Bun An mempersunting seorang Putri Kerajaan Palembang, Siti Fatimah. Setelah itu, Tan Bun An mengajak Siti Fatimah ke Tiongkok untuk menemukannya dengan kedua orangtuanya. Pulang dari sana, mereka lalu diberi hadiah berupa 7 buah guci berisi emas yang di atasnya ditutupi dengan sayur-sayuran. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi para pembajak selama di perjalanan.

Sesampai di tengah perairan sungai Musi, lantas Tan Bun An memeriksa 7 guci tersebut. Namun alangkah marah bercampur kecewa Tan Bun An ketika mengetahui bahwa isi guci itu adalah sayur-sayuran. Tak menunggu lama, Tan Bun An kemudian membuang sayur dan guci tersebut ke sungai. Ketika guci yang terakhir hendak dibuang, guci tersebut terhempas pada dinding kapal dan pecah berantakan sehingga terlihatlah kepingan emas yang ada didalamnya.

Tan Bun Ann pun menyesal, lalu ia terjun ke dalam sungai untuk mencari kembali guci-guci tersebut. Namun sayang, Tan Bun An tidak muncul lagi. Melihat akan hal itu, Siti Fatimah menjadi sedih. Maka ia pun memutuskan untuk menyusul ke dalam sungai untuk mencari Tan Bun An.

Namun sebelum terjun, Siti Fatimah sempat mengatakan, bahwa bila ia tidak berhasil menemukan kekasih tercinta dan bila suatu saat ada gundukan tanah yang muncul dari dalam dasar sungai ini, maka di sanalah kuburan saya. Dan ternyata benar, tiba-tiba dari bawah sungai timbul gundukan tanah yang akhirnya sekarang diyakini oleh warga setempat menjadi Pulau Kemaro. Begitulah legenda asal muasal terbentuknya pulau kemaro sekitar 7 abad yang lalu.

Setelah puas berada di pulau kemaro maka saya pun bergegas kembali ke demaga untuk menaiki perahu getek menuju jembatan ampera. Ketika perjalanan kembali ke jembatan ampera langit cerah dan matahari kembali bersinar, awan kelabu pun menyingkir seakan mempersilahkan pulau kemaro menunjukkan keindahannya.

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan disini, sekecil apapun pesan anda akan memberikan kontribusi yang berarti untuk blog ini