Setelah mengunjungi mesjid Banten lama, saya pun beranjak
menuju Museum Situs Kepurbakalaan Banten lama. Museum ini terletak di bagian
depan Mesjid Banten lama, namun sebelum menuju ke Museum, harus terlebih dahulu
melewati sebuah tanah lapang. Tanah yang cukup luas dengan rerumputan yang
mulai meninggi di bagian sisi-sisinya, di bagian tengahnya hanya tanah gersang.
Tanah lapang ini dijadikan tempat bermain bagi anak-anak yang tinggal di
sekitar Mesjid Banten lama dan juga dijadikan tempat untuk menggembala kambing.
Museum Situs Kepurbakalaan terletak di sebelah timur Mesjid
Banten lama, ketika menyusuri sisi barat museum ini saya terlebih dahulu
melihat Meriam Ki Amuk yang besar. Setelah melewati pintu gerbang museum saya
pun bertanya kepada pihak keamanan dan diarahkan untuk membeli tiket masuk di
loket. Dengan hanya Rp.1000 saya dapat masuk ke Museum tersebut, namun sebelum
masuk saya tertarik untuk melihat Meriam Ki Amuk dari dekat. Meriam ini
berukuran besar dan terletak di bagian luar gedung museum, di moncong meriam
ini masih tersimpan bola besi yang merupakan amunisi meriam yang siap untuk
dihempaskan oleh sang meriam. Setelah puas melihat-lihat meriam, saya pun
bergegas masuk ke dalam museum.
Museum Situs Kepurbakalaan ini sangat sepi, hanya ada 5
orang yang berada di dalam museum ini, termasuk saya. Padahal museum ini
menyimpan peninggalan-peninggalan beragam hal yang terkait dengan sejarah
kesultanan Banten. Mulai dari silsilah kesultanan, artefak berupa kerajinan
keramik, peralatan memancing masa lalu, sampai dengan peta dunia pada abad itu.
Saya sangat tertarik dengan peta dunia yang ada disitu, bagaimana para
penjelajah dapat memetakan dunia dengan alat dan teknologi navigasi yang sangat
terbatas. Hasil pemetaan itu memang tidak sama persis seperti yang sebenarnya,
namun jika melihat sekilas bentukan bentukan pulau dari dunia yang mereka
jelajahi hampir mirip dengan yang ada saat ini.
Tujuan selanjutnya setelah museum adalah sisa reruntuhan
keraton surosowan yang berada tepat didepan museum atau disebelah selatan dari
museum. Saya harus mencari-cari dahulu dimana gerbang masuknya dengan menyusuri
sisi tembok keraton dan menyusuri jejeran parkiran mobil serta para pedagang di
sebelah kanan saya. Akhirnya saya menemukan pintu gerbangnya, namun sayang
gerbang tersebut terkunci dengan rantai yang tergembok. Cukup kecewa dengan apa
yang terjadi, namun setelah saya beranjak ke sisi yang lain saya melihat diatas
tembok keraton ada pria paruh baya yang sedang asik berburu objek di dalam sisa
reruntuhan keraton untuk diabadikan. Di salah satu sisi tembok ada bagian yang
rupanya sering digunakan untuk masuk ke dalam dengan cara memanjat, hal ini
terlihat dari sisa-sisa pijakan kaki.
Saya pun mengikuti jejaknya untuk membunuh rasa penasaran
saya terhadap isi bagian dalam museum ini. Sisa-sisa keraton ini memang indah
untuk diabadikan dengan tembok-tembok batu bata merah dan batu karang.
Rumput-rumput liar terhampar diselingi oleh tembok-tembok keraton dan di sisi
yang lain adapula cekungan-cekungan. Beberapa anak kecil terlihat sedang asik
bermain disalah satu sisi bagian dalam keraton ini.
Dari beberapa sumber, disebutkan bahwa
reruntuhan keraton seluas sekitar 3,5 hektar ini dibangun pada tahun 1552 yang dulunya
merupakan tempat tinggal para sultan Banten. Keraton ini kemudian dihancurkan Belanda pada saat
Kerajaan Islam Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun
1680 berperang melawan penjajah Belanda. Keraton ini sempat diperbaiki, tetapi
kemudian dihancurkan kembali pada tahun 1813 karena pada saat itu sultan
terakhir Kerajaan Islam Banten, Sultan Rafiudin, tak mau tunduk kepada Belanda.
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan disini, sekecil apapun pesan anda akan memberikan kontribusi yang berarti untuk blog ini